Kaltim Adalah Contoh Nyata dari Praktik Transisi Energi Palsu?

XR Bunga Terung Kaltim menggunakan Fly Over Air Hitam sebagai media protes mereka terhadap isu transisi energi palsu. (IST)

Samarinda – Di tengah perayaan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, XR Bunga Terung Kaltim muncul membawa isu krisis iklim. Mereka menilai Persetujuan Paris 2015 tentang komitmen menekan kenaikan suhu bumi agar tidak melebihi 1,5°C tidak dijalankan sungguh-sungguh. Transisi energi dari fosil ke EBT hanyalah komitmen palsu, dan Kaltim adalah contoh nyata dari praktik itu.

Indonesia yang merupakan 1 dari 197 negara yang menandatangani Persetujuan Paris 10 tahun silam, menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 31,89 persen secara mandiri, atau 43 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060, bauran energi baru terbarukan (EBT) ditargetkan 23 persen. Sayangnya, hingga akhir 2024 realisasi EBT nasional baru mencapai 14 persen.

Bacaan Lainnya

Kondisi ini memperlihatkan masih dominannya energi fosil dan ekstraktif di Indonesia, terutama di Kalimantan Timur (Kaltim).

Kaltim Jadi Episentrum Deforestasi dan Energi Ekstraktif

Data Auriga Nusantara mencatat, pada 2024 deforestasi di Indonesia mencapai 261.575 hektare, dengan Kaltim menjadi provinsi dengan deforestasi tertinggi. Meski ada upaya membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di beberapa titik seperti Masjid Babburahman dan Taman Para’an, kenyataannya penggunaan energi bersih di Kaltim belum optimal dan masih bergantung pada PLTU batubara.

Lebih jauh, penggunaan panel surya juga dinilai bermasalah karena bahan dasarnya berasal dari tambang pasir silika. Hal ini justru memperpanjang praktik ekstraktivisme. Aktivis lingkungan menyebut, transisi energi semacam ini hanyalah “solusi palsu” karena mengganti satu bentuk eksploitasi sumber daya dengan eksploitasi lainnya.

“Lubang bekas tambang yang belum direklamasi, aliran limbah ke anak sungai, hingga padatnya lalu lintas tongkang di Sungai Mahakam memperburuk kondisi ekosistem Kaltim,” pernyataan XR Bunga Terung Kaltim, baru-baru ini.

Seruan XR Bunga Terung Kaltim

Dalam momentum HUT ke-80 RI, XR Bunga Terung Kaltim menyatakan empat tuntutan:

Menolak solusi palsu transisi energi yang hanya mengganti energi fosil dengan ekstraktivisme baru.

Mendesak penghentian energi fosil seperti batubara, nikel, dan pasir silika, serta beralih ke energi yang berkeadilan.

Menuntut reklamasi lubang tambang sesuai Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Mendesak pemulihan ekosistem sungai dan penghentian deforestasi.

Upaya Pemprov Kaltim dalam Bidang Iklim

Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyadari tantangan besar ini. Beberapa langkah strategis yang telah dilakukan antara lain:

Program FCPF-Carbon Fund bekerja sama dengan Bank Dunia, yang berhasil mengurangi emisi deforestasi dan degradasi hutan serta menghasilkan insentif karbon.

Kaltim Hijau (Green Kaltim), sebuah program untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan.

Peningkatan investasi di sektor energi terbarukan skala kecil, termasuk PLTS atap untuk gedung pemerintah dan fasilitas publik.

Program rehabilitasi hutan dan reklamasi lahan bekas tambang, meskipun pelaksanaannya masih perlu pengawasan ketat.

Pemprov Kaltim menegaskan komitmennya untuk mendukung target NZE 2060. Namun, berbagai hambatan, seperti ketergantungan ekonomi pada batubara dan lemahnya penegakan hukum lingkungan, membuat perjalanan menuju energi bersih di provinsi ini masih penuh kontradiksi.

Transisi Energi di Persimpangan

Kasus Kaltim memperlihatkan dilema transisi energi Indonesia. Di satu sisi, ada komitmen menuju energi bersih dan program iklim yang progresif. Namun di sisi lain, praktik di lapangan justru menunjukkan masih kuatnya cengkeraman industri ekstraktif.

Pertanyaan pun muncul: apakah Kaltim benar-benar bisa menjadi pionir transisi energi, atau justru contoh nyata dari praktik transisi energi palsu di Indonesia? (gis)

Bagikan:

Pos terkait