KASUS – kekerasan terhadap anak di Kaltim terbilang tinggi. Sedikitnya ada 622 kasus pada tahun 2023 dan 292 kasus hingga Juni 2024. Salah satu risiko kasus kekerasan yang menjadi perhatian adalah di ranah digital.
Data ratusan kekerasan di atas, menunjukkan bahwa anak-anak di wilayah Provinsi Kalimantan Timur memiliki kerentanan yang cukup tinggi menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual di ranah dalam jaringan.
Saat ini, akses digital hampir dimiliki semua orang. Potensi kasusnya pun cukup besar. Bayi di bawah umur tiga tahun pun saat ini juga sudah mendapat paparan internet. Dari video-video edukasi, atau tontonan yang diberikan orangtuanya dari gadget.
BacaJuga
Tak sedikit anak-anak yang sudah memiliki gadget mereka sendiri. Potensi mereka terpapar hal negatif tentu ada. Predator anak berseliweran di internet. Belum lagi, ketidakbijakan dari orang dewasa yang membuat anak bisa jadi korban maupun pelaku kekerasan.
Sekretaris Daerah Kaltim Sri Wahyuni pun, telah memerhatikan kondisi ini. Dalam rapat di Balikpapan pada Kamis (20/6), dia mengajak semua pihak yang hadir untuk bersama-sama meningkatkan kesadaran akan bahaya kekerasan di ranah digital kepada anak-anak dan orang tua.
“Kita perlu meningkatkan sosialisasi dan edukasi tentang bahaya kekerasan di dunia maya serta memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual anak secara online,” tegasnya.
Melansir dari esai yang dimuat di laman Save The Children Indonesia yaitu sebuah lembaga yang berfokus pada isu kesejahteraan anak, mereka memuat laporan dari Digital Quotient Institute (2020). Dalam laporan itu, anak-anak menghadapi berbagai risiko ketika mengakses dunia digital, yang disebut cyber-pandemic. Secara umum, masih menurut laporan tersebut, secara umum 60% anak-anak yang mengakses dunia digital, terpapar ke berbagai risiko dunia digital. Risiko-risiko yang dimiliki anak-anak antara lain perundungan siber (45%), rusaknya nama baik atau reputasi (39%), terpapar muatan seksual dan kekerasan (29%), ancaman siber (28%), menjalin interaksi yang tidak aman (17%), gangguan gaming (13%), dan gangguan media sosial (7%),
Save the Children juga memaparkan dokumen yang dikeluarkan oleh Komite PBB untuk Hak Anak, General Comment No. 25 tahun 2021 tentang hak anak dalam kaitannya dengan lingkungan digital, menyebutkan secara jelas bahwa perlindungan anak di ranah daring harus diintegrasikan dalam kebijakan nasional terkait perlindungan anak nasional.
Negara hendaknya menerapkan langkah-langkah untuk melindungi anak-anak dari risiko, termasuk eksploitasi seksual anak secara online yang difasilitasi oleh penyalahgunaan teknologi digital, memastikan penyelidikan kejahatan siber dan memberikan pemulihan serta dukungan untuk anak-anak yang menjadi korban. Selain itu negara juga diharapkan memiliki data yang diperbaharui secara berkala untuk memahami implikasi dari lingkungan digital untuk kehidupan anak-anak, mengevaluasi dampaknya terhadap hak-hak mereka dan menilai efektivitas intervensi program-program dan kebijakan negara. (offi/mediaetam.com)