Samarinda – Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Kalimantan Timur yang terdiri dari 16 organisasi mengecam perampasan tanah dan pembongkaran paksa rumah warga yang sudah bermukim di wilayah tersebut sebelum ibu kota negara (IKN) dibangun.
Hal ini bermula pada Tanggal 4 Maret 2024, Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita Ibu Kota Nusantara, mengeluarkan Surat Nomor : 179/DPP/OIKN/III/2024. Perihal Undangan arahan atas Pelanggaran
Pembangunan yang Tidak Berijin dan atau Tidak Sesuai dengan Tata Ruang IKN.
Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan Tim Gabungan Penertiban Bangunan Tidak Berizin pada bulan Oktober 2023 dan tidak sesuai dengan Tata Ruang yang diatur pada RDTR WP IKN. Dalam surat tersebut diagendakan adanya arahan Tindak Lanjut atas Pelanggaran Pembangunan yang
Tidak Berizin dan Tidak Sesuai dengan Tata Ruang IKN.
Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita Ibu Kota Nusantara, juga mengeluarkan “Surat Teguran Pertama” No. 019/ST I-Trantib-DPP/OIKN/III/2024, dalam jangka waktu 7 hari warga agar segera membongkar bangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan Tata Ruang IKN dan peraturan perundang-undangan.
“Ancaman badan Otorita IKN tersebut yang secara tiba-tiba hendak mengusir warga Pemaluan dengan dalih
pembangunan Ibukota, jelas adalah bentuk tindakan abusive pemerintah. Ini memperlihatkan wajah asli
kekuasaan yang gemar menggusur dan mengambil alih tanah rakyat atas nama pembangunan,” jelas Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangan tertulisnya.
Hal ini juga mengingatkan dengan rezim otoritarian orde baru yang represif dan menghalakan segala cara. Otorita IKN memberikan batas waktu selama 7 hari agar warga Pemaluan segera angkat kaki dari tanah tempat
mereka berpijak selama puluhan tahun.
Ini adalah bentuk intimidasi yang menyebar teror dan ketakutan kepada warga. Sama persis yang dilakukan terhadap Wadas, Rempang, Poco Leok, Air Bangis, dan lainnya. Upaya pembongkaran Paksa dan paksaan terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk meninggalkan tanah leluhur yang menjadi ruang hidup mereka. Merupakan bentuk pelanggaran hak masyarakat lokal dan masyarakat adat atas Hak hidup, hak atas ruang hidup, hak perlindungan atas kepemilikan atas tanah dan hak atas pemukiman warga.
Pemaksaan pembongkaran bangunan dengan dalih tidak berizin terhadap tanah-tanah masyarakat yang
telah dikuasai warga jauh sebelum rencana pembangunan IKN, merupakan bentuk menghadirkan lagi
cara-cara penjajah Belanda menguasai tanah-tanah rakyat bangsa Indonesia melalui politik “Domein
Verklaring” yang menyatakan “Barangsiapa yang tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan atas tanah
maka tanah menjadi tanah pemerintah.”
Politik penjajah ini diberlakukan sebagai dalih untuk merampas tanah-tanah rakyat. Ketentuan Domein Verklaring telah dihapuskan melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Negara bukan sebagai pemilik tanah, namun mengemban tugas mengatur peruntukan sumber daya alam yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemaksaan pembongkaran bangunan dan pengusiran masyarakat dengan dalih tidak berizin dan tidak sesuai tata ruang adalah cara-cara penjajah dalam merampas tanah rakyat. upaya paksa penyingkiran masyarakat adat dengan dalih pelanggaran atas Tata Ruang IKN merupakan bentuk Genosida Masyarakat Adat.
Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2022 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Ibu
Kota Nusantara, yang dijadikan dasar Pembongkaran paksa bangunan masyarakat lokal dan masyarakat
adat, merupakan produk hukum yang dibuat tanpa melibatkan masyarakat sebagai pemilik sah wilayah.
Hal ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 65 UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang,
yang mengamanahakan untuk melibatkan masyarakat dalam penataan ruang, yang meliputi perencanaan
ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tanpa pelibatan masyarakat lokal dan
masyarakat adat, menyebabkan tata ruang tidak menjadi alat mensejahterakan masyarakat namun justru
menjadi ancaman hilangnya hak-hak masyarakat.
Pemerintah lupa, jika negara pada hakekatnya wajib bertindak atas nama kepentingan rakyat, bukan
kepentingan para pemodal, apalagi sekedar obsesi pemindahan IKN. Dalam putusan perkara Nomor
3/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi menegaskan terdapat 4 aspek yang digunakan sebagai tolak ukur
dalam menguji makna penguasaan negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat, yakni : Pertama,
kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat. Kedua, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi
rakyat. Ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam. Dan Keempat,
penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam .
Koalisi Akademisi dan Masyarakat Sipil Menyatakan
1. Menolak upaya-upaya penggusuran paksa masyarakat lokal dan masyarakat adat dari tanahnya
dengan dalih apapun;
2. Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat merupakan bagian kelompok rentan yang sudah menjadi
kewajiban negara untuk memberikan perlindungan bukan justru mengalami pembongkaran paksa
dan upaya-upaya pemaksaan penggusuran atas nama pembangunan IKN;
3. Menyatakan dokumen Tata Ruang yang dibentuk tanpa partisipasi sejati masyarakat lokal dan
masyarakat adat adalah dokumen yang cacat hukum;
4. Menolak pembangunan IKN Yang mengusur hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat
5. Menyerukan kepada seluruh rakyat, untuk membangun solidaritas bersama. Hanya dengan cara
bersatulah, keputusan penguasa yang menindas dan tidak memihak rakyat, bisa kita lawan! (redaksi)