Nasalis larvatus adalah monyet berhidung panjang dengan bulu kuning kemerahan. Keberadaan si hidung panjang ini, bergantung dengan kelestarian ekosistem mangrove. Sebuah upaya memulihkan habitat bekantan ini pun, dilakukan di Delta Mahakam. Sebuah ekosistem mangrove dengan pulau-pulau kecil hasil endapan sungai Mahakam
Nofiyatul Chalimah – Kutai Kartanegaraa
Matahari lagi terik-teriknya. Iyan langsung menghentikan motornya di tepi jalan raya Desa Tanjung Limau, Muara Badak, Kutai Kartanegara. Sekelompok primata dengan pejantan berhidung besar menarik perhatiannya.
“Biasanya kalau pagi atau sore baru kelihatan. Ini siang-siang tumben bekantan masih bermain,” kata Iyan kepada Mediaetam, pada Februari lalu.
Bekantan, primata yang baru saja dia lihat, punya makna bagi Iyan. Keberadaan bekantan pertanda baik. Masih terdapat ruang untuk bekantan hidup di desanya.
Pasalnya, Bekantan adalah hewan pemalu. Hampir jarang terlibat konflik dengan manusia. Makanan favorit mereka juga berbeda dengan manusia, yaitu rambai laut dan pucuk daun.
“Mereka kalau lihat manusia, biasanya langsung pergi. Tapi, kalau di wilayah itu tidak ada bekantan, biasanya yang datang monyet abu abu yang ekor panjang. Wah itu yang nakal-nakal,” cerita Iyan yang merupakan warga lokal mitra Yayasan Planet Urgensi Indonesia. Sebuah lembaga yang kini fokus pada upaya penanaman mangrove.
Soal peran bekantan yang menjadi “penjaga” ini turut diamini Ketua Yayasan Mangrove Lestari (YML) Ahmad Nuriyawan. Lelaki yang akrab disapa Angga ini mengungkapkan beberapa kejadian di wilayah yang tak ditemukan bekantan, ada peristiwa monyet abu-abu ke pemukiman dan kebun warga untuk mencari makan. Apalagi, mereka biasanya memakan makanan yang sama seperti manusia. Seperti buah-buahan atau roti juga diambil. Namun, jika ditemukan bekantan, sangat jarang ada kejadian dengan monyet abu-abu.
“Bekantan juga berperan menyebarkan bibit mangrove secara alami. Misal dia lompat, bibitnya jatuh ke tanah dan tumbuh,” jelas Angga.
Bekantan sendiri merupakan hewan yang dilindungi berdasarkan Ordonansi Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 No. 134 dan No. 266 jo UU No. 5 Tahun 1990. Berdasarkan Red Data Book termasuk dalam kategori genting, dimana populasi satwa berada di ambang kepunahan.
Apalagi, dalam studi Ecology and Conservation Center for Tropical Studies (Ecositrop) yang telah dipublikasi pada 2017, mulai ada fenomena bekantan tak lagi bergelantungan. Dari hasil studi kamera trap sejak 2013–2017 yang dilakukan tim Ecositrop di beberapa wilayah Kaltim, mereka menemukan kelompok bekantan yang bergerak di atas tanah.
Perubahan perilaku dari bergerak di atas pohon ke bergerak di atas tanah, memberi konsekuensi pada bekantan. Mereka rentan pada predator di tanah seperti ular piton, macan dahan, dan sebagainya.
Bekantan pun sangat bergantung dengan vegetasi-vegetasi di mangrove yang menjadi habitat utama mereka. Maka dari itu, memastikan habitat mereka lestari, adalah upaya untuk memastikan bekantan tetap ada dan menjadi “penjaga” bagi desa.
Menanam Kehidupan di Delta Mahakam
Sementara itu, Desa Tanjung Limau, Muara Badak adalah bagian dari penyangga kawasan Delta Mahakam, yang membentang dari Kecamatan Muara Badak, Anggana, hingga Muara Jawa, Kutai Kartanegara.
Saat ini, YPUI tengah mengusahakan menanam kembali ratusan ribu pohon mangrove di kawasan Muara Badak. Salah satu yang terlibat penanaman ini adalah Iyan.
“Jadi, walaupun bekantan ini makan tanaman mangrove. Tapi dia enggak mengganggu pertumbuhan. Soalnya, yang dicari kan pohon tua. Terus dia makan pucuk atau buahnya. Kalau menanam di sini, tantangannya hama ulat sama panas. Kalau kita baru tanam bibit mangrove dan cuacanya panas terus atau kena ulat, ya bisa mati,” papar Iyan.
Sementara itu, Communication officer YPUI Fiahsani Taqwim menceritakan lembaganya memiliki Project Mahakam. Sebuah projek menanam mangrove sejak 2020 dan berlangsung hingga 2026. Lokasinya di Muara Badak dan Anggana.
“Kami kerja sama dengan Yayasan Mangrove Lestari (YML) dan melibatkan warga lokal. Dari pembibitan, kemudian penanamannya,” jelasnya.
Dia menambahkan, penanaman ini juga memberi benefit lain. Kelestarian mangrove akan berdampak tak cuma urusan eksistensi bekantan saja. Tetapi, juga bagi masyarakat. Pasalnya, upaya penanaman mangrove di garis pantai juga akan menjadi benteng Desa Tanjung Limau dari abrasi air laut.
Selain melakukan penanaman kembali di hutan mangrove yang terdegradasi, YPUI dan YML juga melakukan upaya penghijauan di tambak-tambak atau disebut silvofishery. Sebab, disadari keberadaan tambak-tambak menjadi salah satu alasan mangrove terdegradasi. Sedangkan, tambak yang banyak menghidupi warga di wilayah Delta Mahakam. Sehingga, menanam mangrove kembali adalah salah satu cara memastikan kehidupan di Delta Mahakam terus berjalan. (*)