Menagih Janji Kejayaan Tanah Borneo Untuk Masa Depan Pemuda Kaltim

Mediaetam.com – 1600 tahun lalu, berdiri sebuah kerajaan pertama di Nusantara bernama Kerajaan Kutai Martadipura, letaknya di Muara Kaman, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Nusantara yang semula hanyalah sekelompok komunal primitif, menghabiskan generasi dengan berburu, bercocok tanam lalu berpindah-pindah mulai menangkap cahaya peradaban. Kerajaan Kutai Martadipura di tanah Borneo jadi pintu masuk manusia purba mengenal dan belajar banyak hal. Mulai dari sistem pemerintahan, budaya, seni dan tentu saja juga agama.

Melalui pemerintahan, manusia berkenalan dengan tata kelola memerintah, menguasai hingga mengayomi. Pemerintahan melahirkan sistem hingga tercipta masyarakat yang disebut rakyat dan pemimpin yang dikenal sebagai raja. Melalui pemerintahan lahir sebuah aturan-aturan yang kemudian menjadi hukum formal. Ada hak dan kewajiban, melanggar diganjar sanksi. Mengatur dan melindungi keberlangsungan masyarakat meski masih sederhana, Nusantara perlahan mencium aroma peradaban itu.

Agama dan budaya pun demikian, Hindu menjadi agama pertama dan tertua yang menjaga harmoni Kerajaan Kutai Martadipura berjaya. Keputusan raja jarang rasanya tanpa konsultasi dan restu para Brahmana (Ulama Hindu). Melalui agama dan Budaya lahir Norma, kebaikan dan karma. Bahkan kata gotong royong yang selalu jadi slogan kampanye politisi modern saat ini tidak bisa dilepaskan bahwa itu dikenalkan oleh Kerajaan tertua Kutai Martadipura. Lalu, sudahkah kita berterima kasih karena memetik semangat Nusantara yang kini Indonesia masih utuh karenanya? Selain itu pula benarkah berdirinya kerajaan lain di seantro Nusantara tak bertemali dengan garis turunan raja Kutai Martadipura mengingat Kerajaannya adalah yang tertua di Nusantara? Sepintas itu menjadi wajar jika tanah Borneo dengan kerajaan tertuanya menjadi awal silaturahmi peradaban Nusantara.

Kemampuan Pemuda Borneo dan Hegemoni Sentralisme Kekuasaan Pusat.

Kini setelah 76 tahun Indonesia merdeka, isu Jakarta sebagai Ibukota Negara mulai dipertanyakan dan didebatkan. Pasalnya, setelah puluhan tahun menjadi sentralisme kekuasaan, padatnya penduduk dengan masalah sosial yang menjalari sudut metropolisnya. Jakarta hendak pensiun jadi Ibukota. Memindahkan Tuan rumah Indonesia agar Jakarta berbenah dari beban sentra kekuasaan. Pilihan itu jatuh di Kalimantan Timur, Penajam Paser Utara (PPU) tepatnya.

Dipilihnya PPU, Kaltim sebagai Tuan Rumah menyanggah gemuknya Indonesia adalah alasan rasional. Indonesia takkan remuk karena secara historis tanah Borneo adalah wajah dari peradaban Nusantara silam. Menjadikannya Ibukota seperti hendak mengembalikan pemerintahan kepangkuan sejarah yang pernah dimulai Kerajaan Kutai Martadipura 1600 tahun lalu. Secara geografis pula, posisi Kalimantan Timur berada di tengah-tengah sehingga akan aman dari gangguan teknis negara-negara luar. Apalagi secara sejarah, tentu sudah selayaknya demikian. Lalu, apakah kita siap memikulnya?

Jika tak berbenah dan keliru melangkah IKN nantinya akan tetap dikuasai monopoli luar Kaltim, Pemudanya akan kembali menjadi penonton di tanahnya sendiri. Pemerintah harus menggenjot Sumber Daya Manusia (SDM) agar pemuda Borneo siap bersinergi dengan IKN nantinya. Sentralisme Jawa dengan segala infrastuktur Pengetahuan dan juga Stuktur Bangunan pendukung mayoritas ada di sana. Kapan realisasi itu disiapkan di Kalimantan Timur pula. Untuk APBN saja dari Kaltim setidaknya memberi kontribusi 500 Triliun dari kayanya hasil minyak bumi tanah etam. Tapi faktanya Kaltim hanya diberi dana perimbangan membangun Borneo 20 triliun saja.

Dari SDM pun demikian, masih minimnya ruang gerak putra-putri Kaltim untuk mengisi posisi-posisi strategis di pemerintahan pusat menjadikan kita tak ubahnya sedang dianaktirikan.

 

Berbanding terbalik dengan limpahan kekayaan Kalimantan Timur yang hampir semuanya disetor setiap tahunnya menopang kekuasaan Senayan hingga Istana. Minimnya tokoh berkiprah di pemerintahan pusat jelas pertanda buruk. Dampaknya, minimnya perwakilan intelektual Kaltim dalam struktur strategis nasional berarti kian tipis pula suara kritis memperjuangkan tanah kelahiran Kaltim agar lebih diperhatikan. Pembangunan akan timpang, SDM penopang IKN takkan banyak melibatkan putra daerah. Kita akan menyaksikan bahwa pengurus Negeri ini masih berkutat pada irama monopolistik. Hal itu bukan karena ketidakmampuan anak-anak Borneo untuk melenggang di sana, lebih karena memang rasa-rasanya Nasionalisme kita masih sangat Sentralistik.

 

Kongres PMII XX Era Konsolidasi Kader Terbaik PMII Kaltim Berkiprah Lebih Tinggi

 

Setelah berkutat dengan sejarah lampau, dan beranjak pada ketidakadilan porsi kepemimpinan yang masih berkutat pada hegemoni sentralistik. Kota Balikpapan, rabu hingga sabtu kedepan (17-20 maret 2021) sedang melakukan hajat akbar Intelektual dengan menyelenggarakan Kongres Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ke XX di Gedung Kesenian, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Dipilihnya Balikpapan bukan tanpa sebab, pasalnya bisa saja erat kaitannya dengan semangat IKN yang ditaruh di sebelah Balikpapan yaitu kabupaten PPU. Dengan Kongres PMII di Balikpapan yang notebene adalah pintu masuk Kaltim, mengingat Balikpapan memiliki pendukung seperti Bandar Udara Internasional dan juga Pelabuhan, pusat pengelolaan minyak yaitu Pertamina juga berada di Balikpapan. Bahkan pusat kekuatan militer Kaltim seperti Polda Kaltim, Kodam dan beberapa militer Kaltim dipusatkan di Balikpapan. Layaklah Balikpapan menjadi pintu gerbang Kaltim atau dalam konteks tata negara, Balikpapan adalah pintu masuk Ibu Kota Negara baru nantinya. Sehingga dipilihlah sebagai tuan rumah.

 

Kongres PMII ke XX bisa saja melahirkan kisah pilu, bukan saja karena pagelaran akbar itu berada di tengah-tengah Pandemi Covid-19 sehingga segala kegiatan menyesuaikan protokol kesehatan. Lebih dari itu, Kaltim yang sudah menyelenggarakan Kongres PMII ke tiga kalinya takkan banyak dilibatkan mengisi posisi struktur inti PMII dari masa ke masa. Seperti yang sudah-sudah, Kongres PMII XX di Balikpapan akan bernada sama, menjadi ring pertarungan di luar Kaltim. Untuk Calon PB PMII sendiri, setidaknya ada 16 petarung yang akan memperebutkan kursi nomor satu PMII, adakah Intelektual Kaltim? Jawabanya tentu tidak ada.

 

Konstalasi PMII secara nasional rasanya masih membuat sesak nafas kader-kader terbaik PMII di Kaltim untuk menghirup kaderisasi kepemimpinan lebih tinggi. Jerih payah tuan rumah menyelenggarakan silahturahmi nasional berupa Kongres PMII tak jadi pertimbangan untuk menempatkan Kader terbaiknya berkiprah di ruang Nasional. Padahal dengan menempatkan kader dikancah nasional seperti PB PMII, berarti Kaltim sedang menanam investasi SDM untuk menyambung tali kebijakan Pusat dengan Kaltim. Kebijakan-kebijakan nasional jika tak berpihak ke Kaltim. Lewat kader terbaik yang di tempatkan di sana maka jalur intrupsi akan sering menggema dan kita akan dengar dari sini. Intelektual mahasiswa PMII Kaltim akan menjadi perpanjangan dari kebutuhan dan kepentingan Kaltim yang manjur untuk diaspirasikan jika bisa mengutus putra terbaiknya.

 

Untuk kali ini, lewat momentum Kongres PMII XX di kota Balikpapan, sudah seharusnya kader Intelektual PMII Kaltim menagihnya, bukan demi kepentingan semata. Jauh dari itu semua menjahit Nusantara sejak berdirinya Kerajaan Tertua Kutai Martadipura hingga kembalinya Ibu Kota Negara kepangkuan tanah Borneo harus seirama dengan kader-kader terbaik Borneo diutus menjadi Pengurus PMII pusat. Jika jabatan Ketua PB PMII sudah tertutup dengan segala konsolidasinya, Struktur mendekatinya harusnya jadi milik Putra terbaik PMII Kaltim.

Ditulis oleh Ketua Pengurus Koordinator Cabang (PKC) PMII Kaltim-Kaltara Panji Sukma Nugraha

Bagikan:

Pos terkait