Ibu Kota Nusantara (IKN) digagas dengan konsep kota ramah lingkungan. Wacana efisiensi energi dan “kota hijau” kerap digaungkan oleh pemerintah. Sayangnya, konsep “hijau” dari Pusat belum membumi di level akar rumput. Urusan AC yang lebih ramah lingkungan pun, masih jadi hal awam di IKN.
Nofiyatul Chalimah – Sepaku, Penajam Paser Utara
Dengan konsep hijau, Ibu Kota Nusantara (IKN), idealnya tak boleh asal bangun gedung. Mereka punya spesifikasi khusus sebab ada target untuk efisiensi dan lebih ramah lingkungan. Dalam Pedoman Bangunan Cerdas Nusantara yang diluncurkan Badan Otorita IKN, rekomendasi khusus di bidang infrastruktur bangunan yang ada di Ibu Kota Nusantara (IKN) harus melakukan penghematan energi hingga 60 persen untuk konservasi energi pada bangunan.
BacaJuga
Kepala Biro SDM dan Humas Badan Otorita IKN Firmananur juga memaparkan, penggunaan energi ramah lingkungan, seperti penggunaan panel surya, saat ini telah diimplementasikan di sejumlah lokasi di Nusantara. Contohnya adalah pada Rumah Tapak Jabatan Menteri dan Bangunan Miniatur Hutan Hujan Tropis.
Di sisi lain, dalam Pedoman Bangunan Cerdas Nusantara, dipaparkan sistem pemanas, ventilasi, dan pendingin udara (HVAC) adalah salah satu konsumen energi paling signifikan di sebuah gedung. Bangunan “cerdas’ harusnya menggunakan sistem HVAC hemat energi yang dirancang untuk mengoptimalkan konsumsi energi dan mengurangi limbah.
Maka dari itu, Direktorat Pengelolaan Gedung, Kawasan dan Perkotaan Otorita IKN juga menyusun dokumen Level of Services (LoS). Salah satu parameter dalam sistem HVAC adalah ketersediaan dan keberfungsian sistem itu.
Tolok ukurnya pertama pemantauan kualitas udara, yaitu layanan pemantauan kualitas udara berbasis sensor untuk mengukur dan memonitor parameter. Lalu dilihat sistem pendingin udara dan fasilitas pendingin udara dengan integrasi sensor untuk efisiensi energi yang lebih baik serta peningkatan kenyamanan pengguna.
Untuk kesehatan juga ada pemurnian udara dan pemantauan filter, seperti fasilitas pemurnian udara tingkat tinggi seperti filter High-Efficiency Particulate Air (HEPA) untuk menghilangkan polutan gas serta layanan pemeliharaan filter.
Juga mencakup ventilasi berbasis permintaan. Jadi, fasilitas ventilasi dan aliran udara berdasarkan okupansi, kualitas udara, serta terintegrasi dengan teknologi bangunan cerdas lainnya. Kecanggihan juga ada pada sistem deteksi iklim, fasilitas monitor suhu, kelembapan, dan tekanan udara.
“Pemantauan real-time terintegrasi dengan fitur sistem HVAC lainnya,” sambungnya dalam keterangan tertulis ke Mediaetam.com.
Memang, kebutuhan peranti pengondisi udara alias AC jadi niscaya, sebab IKN bukanlah wilayah pegunungan yang cenderung sejuk. Salah satu perusahaan AC yang mendapat proyek di IKN adalah Daikin. General Manager Daikin Indonesia Wan M Fawzie mengatakan, perusahaannya mendapat proyek pemasangan AC di IKN.
“Ada enam proyek di sana. Dan pasti akan ramah lingkungan sesuai dengan visi misi IKN. Di sana, kita akan pasang AC Central untuk gedung-gedung besar,” jelasnya.
Untuk diketahui, ada beberapa jenis AC. Namun, yang paling populer adalah AC central dan AC split. AC central, umumnya digunakan untuk ruangan atau gedung besar dan dipastikan lebih hemat energi. Sementara itu, AC split adalah jenis AC yang umum dilihat di rumah pribadi, ruko, maupun kafe dan bangunan kecil lainnya. Di Indonesia, peredaran AC split ini wajib berlabel hijau.
Hal ini adalah upaya efisiensi energi yang diinisiasi pemerintah hampir sewindu lalu, yaitu dengan Penerapan Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) dan Pencantuman Label Tanda Hemat Energi (LTHE) untuk Peranti Pengkondisi Udara. Untuk diketahui, SKEM merupakan spesifikasi yang memuat sejumlah persyaratan kinerja energi minimum. Hal ini dimaksudkan untuk efisiensi dan efektivitas penggunaan energi dari suatu produk.
Dari SKEM ini, untuk memudahkan masyarakat mengidentifikasi bagaimana kemampuan efisiensi penyerapan energi suatu produk, maka ada label tanda hemat energi (LTHE). Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 57 Tahun 2017. LTHE memiliki tanda bintang. Semakin banyak bintang, artinya kemampuan menghemat listrik lebih baik. Indonesia baru mewajibkan satu bintang dan sejak 2023 telah keluar aturan untuk wajib dua bintang.
Meski begitu, tidak ada aturan khusus yang eksplisit tentang penggunaan AC split wajib berlabel hemat energi di IKN. Sub Koordinator Penerapan Teknologi Efisiensi Energi, Direktorat Konservasi Energi Kementerian ESDM, Anggraeni Ratri Nurwini mengatakan pada pembangunan IKN karena konsep mereka ramah lingkungan, mereka harusnya menghemat energi.
“Kita tahu IKN kan ramah lingkungan secara tidak langsung mereka harus beli (AC) yang berlabel hijau (LTHE),” imbuhnya.
Efisiensi Energi dan Warga Lingkar IKN
Hanya saja, IKN tak melulu soal gedung dengan sistem nan canggih yang sedang dibangun. IKN juga melibatkan warga desa/kelurahan di sekitarnya yang mestinya beriringan merasakan kecanggihan dan benefit hidup di kota hijau. Sayangnya, konsep “kota hijau” IKN belum membumi di masyarakat setempat. Mereka juga tak tahu kebijakan efisiensi energi antara lain penggunaan alat-alat eletronik yang tidak boros energi alias ramah lingkungan.
Seperti Supriyati, seorang pemilik penginapan di Desa Bukit Raya, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Penginapan miliknya bersanding dengan perusahaan-perusahaan konstruksi dan hanya sekitar 7 kilometer ke Titik Nol IKN. Di penginapannya, sedikitnya ada 10 kamar dengan AC split yang bertengger. Namun, tak semua memiliki label hemat energi.
Saat awal membuat penginapan pada 2018, pilihan AC dipertimbangkan karena harga dan merek terkenal.
“Ternyata sedot listrik cukup banyak, agak bising, dan tidak cepat dingin,” kata dia.
Supriyati pun bertahan dengan kondisi AC yang ada, karena jika harus mengganti semua, akan membebani pengeluarannya. Hingga IKN dimulai dan penginapannya makin ramai. Dia dan suaminya pun menambah lantai 2 untuk kamar baru di penginapannya sejak tiga tahun lalu. Pada kamar baru ini, mereka bertekat mencari AC yang lebih hemat dan cepat dingin.
“Saya enggak mengerti label hemat energi. Saya cuma maunya yang enggak makan listrik banyak. Sales-nya baru kasih info beberapa merek AC. Nah, AC yang saya pakai ini yang paling recommended kata Sales-nya. Listriknya hemat dan harganya murah. Ini AC-nya saya rekomendasikan ke mana-mana. Rumah sebelah kan lagi bikin kontrakan, saya bilang pakai AC ini saja,” cerita Supriyati sambil menunjukkan AC berlabel empat bintang miliknya.
Berada di lingkar terdekat dengan pembangunan IKN. Tak lantas bikin pengusaha UMKM lokal seperti dirinya mendapat pengetahuan soal efisiensi energi atau energi ramah lingkungan. Badan Otorita IKN, dia sebut tak pernah memberi sosialisasi soal jenis AC ke pengusaha penginapan sepertinya.
Padahal, jika sedari awal dia tahu mana AC yang lebih hemat, pasti dia memilih AC itu. Maka dari itu, jika beberapa tahun mendatang AC-nya di kamar lantai 1 yang boros listrik itu sudah harus diganti, dia akan mengganti dengan AC yang sama di lantai 2.
AC memang salah satu perangkat yang cukup menyedot listrik. Maka dari itu perlu efisiensi energi. CLASP, Sebuah lembaga yang fokus pada peningkatan efisiensi energi di perangkat dan peralatan sehari-hari memiliki riset bagaimana dampak penggunaan perangkat pada penurunan emisi. Program Manager CLASP Asia Tenggara, Nanik Rahmawati pun menjelaskan penggunaan peralatan hemat energi bisa menekan 40 persen emisi karbon.
“Label tanda hemat energi ini akan memudahkan konsumen memilih mana produk yang lebih hemat dan efisien,” sambungnya.
Namun, hal ini tidak bisa serta merta dibuat aturan begitu saja. Pengawasan dan sosialisasi juga perlu. Selain itu, harus ada upgrade standar bintang. Seluruh pihak harus mendukung. Mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga pengusaha. Dengan begitu, masyarakat bisa akrab dengan perangkat yang lebih ramah lingkungan.
Koordinator Pengawasan Konservasi Energi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Endra Dedy Tamtama pun memaparkan pemerintah memang punya peraturan AC wajib memiliki label hemat energi. Namun, tidak dimungkiri masih banyak AC tidak berlabel hemat energi beredar di pasaran.
Padahal, jika makin banyak yang menggunakan AC LTHE dengan bintang empat bahkan lima, artinya kontribusi terhadap efisiensi energi dan penekanan emisi, makin besar.
“Sekarang kita MoU dengan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah), supaya bisa masukkan label hijau di e-katalog pemerintah,” sambungnya.
Dengan begitu, pemerintah hingga level desa bisa memilih peralatan yang hemat energi. Apalagi, informasi soal peralatan hemat energi ini terbilang minim. Seperti di beberapa desa yang ada di lingkar IKN.
Termasuk di Desa Sukaraja, Kecamatan Sepaku. Di kantor desa, AC split yang bertengger di ruangan sudah berlabel tanda hemat energi dengan bintang empat. Namun, Kepala Desa Sukaraja Sugiyanto mengatakan, AC bintang empat itu pun murni pihak desa beli karena harga dan spesifikasi tenaganya masuk di Peraturan Bupati Penajam Paser Utara (PPU).
Melansir dari dokumen Peraturan Bupati PPU selama dua tahun terakhir tentang standarisasi harga, memang tidak didetailkan AC yang digunakan harus yang ramah lingkungan atau memiliki LTHE bintang dua, tiga, atau empat. Peraturan hanya memaparkan spesifikasi, harga, dan jenis/tipe barang. Selain itu, tak ada instruksi atau sosialisasi dari Badan Otorita IKN, agar desa-desa juga punya sistem canggih nan hemat energi agar seirama dengan konsep green IKN. Maka dari itu, pilihan AC di kantor desa itu ramah lingkungan atau tidak, kembali ke desa.
“Kita kalau beli barang, misal sudah masuk spesifikasi, kita juga melihat keawetan barangnya. Sama, perawatannya seperti apa. Onderdilnya mudah didapat atau tidak. Listriknya bagaimana,” sambung Sugiyanto pada Senin (1/7).
AC pun dia rasa bekerja cukup baik. Biaya listrik desa juga tidak membengkak dan bisa mendinginkan suhu di kantornya yang terkadang panas sekali.
Sugiyanto tentu gembira jika memang ada peranti-peranti yang hemat listrik. Desanya pun berusaha ke arah energi hijau. Beberapa lampu jalan di permukiman sudah yang hemat energi dan pakai panel surya. Meskipun, ada alat-alat yang rusak dan sumber daya desa terbatas untuk memperbaikinya. Otorita IKN pun diharap beri perhatian lebih dan tak meninggalkan mereka.
“Ke desa pun, belum ada instruksi khusus atau program soal teknologi dan energi ramah lingkungan dari otorita,” sambungnya.
Memang, keberadaan IKN tentu saja diakuinya beri dampak peningkatan ekonomi bagi warga. Namun, Sugiyanto berharap, IKN bisa benar-benar melibatkan warga Sepaku di dalamnya. Jika IKN berkonsep hijau, maka desa-desa di sekitarnya juga harus turut hijau.
Sementara itu, Kepala Biro SDM dan Humas Otorita IKN Firmananur memaparkan otorita juga memiliki program khusus untuk usaha lokal yang mendukung efisiensi energi. Program ini ditujukan kepada seluruh masyarakat di wilayah delineasi IKN, dengan fokus khusus kepada pelaku usaha UMKM yang beroperasi di tenan Rest Area dan Kantin Hunian Pekerja Konstruksi (HPK).
Selain itu, juga ada program ‘Solar Mum’. Program ini difokuskan kepada ibu-ibu di desa, sebagai upaya untuk meningkatkan kemandirian energi di rumah tangga dengan menggunakan tenaga surya.
Juru Bicara Kegiatan ini telah diadakan di desa Bukit Raya dan Argomulyo, di mana peserta pelatihan belajar untuk merakit lampu tenaga surya. Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk membuka peluang usaha baru yang berbasis energi terbarukan bagi masyarakat lokal.
“Hasil testimoni dari peserta program menunjukkan bahwa lampu tenaga surya ini memberikan manfaat nyata, terutama bagi usaha menjahit yang dimiliki oleh para peserta. Lampu tenaga surya dapat digunakan sebagai sumber penerangan tambahan yang memadai, terutama di daerah yang memiliki akses listrik terbatas atau sering mengalami pemadaman listrik,” imbuhnya.
Di sisi lain, seiring dengan truk-truk berseliweran menerbangkan debu-debu di depan kantornya, Sekretaris Desa Bukit Raya Adi Suryadi mengisahkan ekonomi bergeliat di desa ini setelah kedatangan IKN. Desa ini pun juga didapuk jadi desa digital. Berbagai program juga telah masuk untuk pemberdayaan petani dan sebagainya.
Namun, dia merasa pihak desa, tak banyak dilibatkan. Jarang sekali Badan Otorita bertamu ke kantor desa mengajak berdiskusi. Pertemuan hanya sepintas dalam sebuah acara. Padahal diskusi mendalam dan rutin itu penting, agar desa bisa turut seirama dengan pembangunan IKN. Juga bagaimana desa bisa menerapkan efisiensi energi dan menyongsong transisi energi.
“Mumpung UMKM lagi berkembang sekali. Ada yang buka tempat makan, kafe, penginapan, kontrakan, dan lainnya,” sambung dia.
Pendampingan UMKM lokal di Bukit Raya ini penting, agar mereka bisa melakukan efisiensi energi maksimal. Tentunya, bisa menekan budget juga. Memang ada beberapa program langsung ke masyarakat UMKM, tapi warga lain juga masih butuh pendampingan. Padahal, desa mendukung IKN. Tentu harapannya hal serupa juga diberikan ke desa.
Gempita serba wah canggih IKN pun, menurutnya mestinya diiringi dengan warga sekitarnya. Ketika berbicara IKN kota hijau, maka orang akan melihat juga bagaimana kondisi warga Sepaku. Apalagi, wilayah mereka akan kedatangan puluhan ribu orang baru dari luar. Jangan sampai warga lokal Sepaku ditinggalkan dan timpang jauh dengan para pendatang serta pembangunan IKN yang dilakukan pemerintah pusat.(*)
Liputan ini merupakan hasil dari program Fellowship Efisiensi Energi Dalam Standar Implementasi SKEM dan LTHE di Indonesia yang dilaksanakan Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) yang juga didukung CLASP.