Program Makan Bergizi Gratis, Antara Keadilan, Kebebasan, dan Kewajiban Negara

Foto: Desy Arum Sekarini, Mahasiswi Magister Administrasi Publik Universitas Mulawarman
Foto: Desy Arum Sekarini, Mahasiswi Magister Administrasi Publik Universitas Mulawarman

Catatan: Desy Arum Sekarini, Mahasiswi Magister Administrasi Publik Universitas Mulawarman

Program Makan Bergizi Gratis (PMBG) yang digulirkan pemerintah menjadi sorotan publik. Program ini disebut mampu mengatasi masalah gizi anak sekolah, sekaligus menjadi investasi jangka panjang bagi kualitas pendidikan dan produktivitas bangsa. Namun, perdebatan pun muncul: seberapa adil, etis, dan efektif program ini?
PMBG dirancang untuk meningkatkan akses gizi, khususnya bagi kelompok rentan. Dalam jangka pendek, diharapkan mampu memperbaiki status gizi anak sekolah. Dalam jangka panjang, program ini diyakini dapat meningkatkan capaian belajar, kesehatan, dan mobilitas sosial.
Mengapa Penting?
Kecukupan gizi anak usia sekolah merupakan prasyarat tumbuh kembang. Kekurangan gizi menyebabkan stunting, turunnya prestasi akademik, hingga memperdalam lingkaran kemiskinan. Negara dianggap wajib hadir melalui kebijakan publik, karena keluarga berpenghasilan rendah sering kali tak mampu memenuhi kebutuhan dasar anak-anaknya.
Tiga Kerangka Etis dalam Menilai Program:
1. Perspektif Egalitarianisme
Egalitarianisme menekankan kesetaraan. Dari kacamata ini, PMBG adalah langkah tepat untuk mengurangi ketidaksetaraan yang bersifat struktural. Memberikan makanan bergizi kepada anak-anak miskin dianggap cara langsung menghapus jurang kesehatan dan pendidikan.
Dua model yang disarankan adalah:
Universal dasar + tambahan progresif: semua anak mendapat porsi, daerah miskin mendapat tambahan.
Targeted universalism: tujuan universal tercapai, namun strategi lebih fokus ke kelompok tertinggal.
Meski dinilai adil, pendekatan ini tetap menghadapi kendala: biaya besar, potensi salah sasaran, dan resistensi politik dari kelompok yang merasa tidak diuntungkan.
2. Perspektif Libertarianisme
Libertarian menempatkan kebebasan individu dan hak kepemilikan di atas segalanya. Dalam pandangan ini, PMBG yang dibiayai pajak dianggap bentuk ‘pemaksaan’ terhadap warga.
Solusi yang ditawarkan antara lain:
Program berbasis sukarela melalui CSR, yayasan, atau donasi.
Skema voucher, di mana keluarga bebas memilih penyedia makanan.
Kerja sama publik-swasta dengan pembiayaan non-pajak.
Bagi libertarian, program wajib berbiaya pajak dianggap melanggar hak. Namun, sebagian kalangan moderat mengakui intervensi minimal tetap diperlukan agar anak-anak tidak kehilangan kesempatan hidup sehat dan bebas.
3. Perspektif Deontologi
Deontologi menekankan kewajiban moral dan prinsip. Negara dipandang memiliki duty of care untuk melindungi anak-anak dari bahaya gizi buruk. Namun, pelaksanaannya tetap harus menghormati martabat penerima. Anak-anak tidak boleh distigma, harus diberi pilihan menu bila memungkinkan, dan transparansi penggunaan dana wajib dijaga. Konflik kewajiban pun muncul: antara melindungi hak kepemilikan warga yang membayar pajak dan melindungi anak-anak dari kekurangan gizi. Banyak pemikir deontologis menilai, kewajiban melindungi anak harus didahulukan.
Merujuk Titik Temu
Meski berbeda pandangan, analisis menyimpulkan bahwa PMBG tetap bisa dirancang dengan menggabungkan kekuatan ketiga kerangka etis. Tujuan jelas: mengurangi ketidaksetaraan gizi anak dan meningkatkan kualitas pendidikan. Desain program: layanan universal dasar untuk semua anak, ditambah dukungan ekstra bagi daerah miskin. Pembiayaan: kombinasi pajak progresif dan dana sukarela (CSR/donasi), sehingga keberatan libertarian bisa terjawab. Pelaksanaan: penyajian makanan di sekolah tanpa label bantuan, opsi menu untuk menjaga martabat anak. Evaluasi: pemantauan stunting, absensi, nilai akademik, serta audit independen.
Tahapan Implementasi
PMBG diusulkan berjalan dalam empat fase:
Perencanaan (0–6 bulan) – survei kebutuhan gizi, uji coba desain.
Pilot (6–18 bulan) – implementasi terbatas di wilayah prioritas.
Skala (18–48 bulan) – perluasan bertahap ke seluruh daerah.
Konsolidasi (>48 bulan) – audit, evaluasi, dan penyesuaian kebijakan.
Program Makan Bergizi Gratis adalah pertaruhan besar bangsa. Dari sudut pandang egalitarian dan deontologis, dasar moralnya kuat: melindungi anak-anak dari ketidaksetaraan dan bahaya gizi buruk. Pandangan libertarian memberi catatan kritis, terutama soal pembiayaan dan kebebasan warga.
Namun, dengan desain yang bijak, program ini bisa menjadi jembatan antara keadilan, kebebasan, dan kewajiban moral negara. Jika konsisten dijalankan, PMBG bukan sekadar program makan gratis, melainkan investasi sosial yang memperkuat masa depan Indonesia. (*)

Bagikan:

Pos terkait