Mediaetam.com, Tenggarong – Penegakan pemberlakuan pajak daerah sarang burung walet untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Kutai Kartanegara mulai digalakkan.
Hal ini mendapatkan tanggapan dari petani sarang walet. Salah satunya yaitu Ali Sadikin salah satu pemilik walet di Jalan Usaha Tani, Tenggarong.
“Ya tergantung aja sih kalo memang waletnya udah lama dan menghasilkan, nda masalah menarik pajak tapi kalo baru susah rasanya,” ucapnya saat diwawancarai Mediaetam.com, Selasa (16/3/2021).
Karena menurutnya modal untuk membangun sarang walet juga sudah cukup banyak. Sedangkan walet yang ia dirikan lima tahunan saja belum ada keuntungan yang didapat, mengembalikan modal saja cukup sulit.
“Belum lagi ditambah pengeluaran untuk biaya perawatan berkisar 300 ribu satu kali perawatan,” ucapnya.
Dirinya juga menjelaskan terkait penghasilan sarang waletnya tergantung berapa kali panen.
“Biasa satu bulan, dua bulan, paling lama tiga bulan,” ucapnya.
Untuk penjualannya sendiri tergantung tengkulak, dipasaran per biji 100 ribu dan perkilo bisa 14 juta lebih. Penghasilan paling besar menurutnya selama ini cuma satu kilo karena masih baru.
Dirinya juga menyarankan untuk penarikan pajak tersebut pemkab harus menggencarkan pembinaan dan sosialisasi dulu agar semuanya tahu.
Sementara itu Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kukar Bapak Totok Heru Subroto, menjelaskan untuk usaha sarang walet ada dua pajak yang dikenakan.
Pertama yakni izin mendirikan bangunan masuk dalam pajak bumi bangunan (PBB) sedangkan untuk izin usaha terkait pajak sarang walet.
“Jadi dua-duanya kena pajak dan wajib dibayarkan,” ucapnya.
Kalo PBB dasar perhitungannya dihitung dari berapa luas dan letak lokasi dimana sedangkan izin usaha dilihat dari berapa pemetikan atau penghasilan dari sarang walet tersebut.
“Misalnya panennya sebulan berapa dia laporkan, jikalau satu kilo gram sebulan dilaporkan dengan menghasilkan 10 juta, nanti pajaknya 10 persen dari nilai itu. Untuk PBBnya ada sendiri,” ucapnya.
Dan hal tersebut harus dilaksanakan karena pajak sifatnya mengikat dan wajib. Siapapun yang panen menurutnya kena peraturan peraturan daerah harus bayar 10 persen dari nilainya.
Beda kalo PBB pembayaran pajaknya setahun sekali dan ditetapkan pemerintah sedangkan untuk sarang walet tergantung panen.
kalo panennya tiap bulan yang harus dibayar kan tiap bulan. Jadi menurutnya yang dihitung setiap pemetikan. Jadi tidak dibatasi bulanan atau tahunan, tergantung dia melaporkan makanya self assessment.
“Cuma rata-rata orangkan panen tiap tiga bulan,” ucapnya.
Adapun untuk sarang walet itu, pihaknya mengaku kita masih minim data meskipun di lapangan kasat mata itu banyak.
Persoalannya yakni self assessment
jadi siapa yang memanen harus melapor dulu. bukan pihaknya yang mengejar tetapi orang yang punya melapor secara online di link pendaftaran pajak Bapenda dan nanti mendapatkan NPWPD.
Dirinya mengakui untuk sarang walet dalam dalam sumbangannya dalam pendapatan asli daerah belum terlalu besar, tapi potensinya besar.
Kedepannya pihaknya jadwalkan rapatkan diseluruh kaltim melibatkan KPK. Setiap sarang burung diminta persyaratan bukti wajib pajaknya, setor pajaknya lunas dan surat keterangan asal barangnya dari mana.
“Kemudian nanti dari Provinsi menerbitkan surat kelayakan edar, dari sisi kesehatannya, itu jadi persyaratan,” tutupnya. (Akbar)