Mediaetam.com,Tenggarong – Perkembangan terkait surat yang dikeluarkan Bawaslu RI tertanggal 11 November 2020, yang ditujukan kepada KPU belum menemui titik terang.
“Kalau perkembangannya kita juga tidak tahu seperti apa, Bawaslu Kaltim tidak dapat tembusan dari Bawaslu RI,” ucap Komisioner Bawaslu Kaltim Galeh Akbar, saat dihubungi pewarta, Rabu, 18/11/2020.
BacaJuga
Dia menambahkan, bahwa secara kelembagaan kedudukan surat tersebut ranah Bawaslu RI.
“Hal ini karena pelapor melaporkan ke Bawaslu RI jadi penanganan nya harus di Bawaslu RI, kalau di tangani Bawaslu RI kita gak dapat tembusan,” kata Galeh.
Dia melanjutkan, istilahnya bukan koordinasi, karena ditangani di Bawaslu RI, kecuali ada pelimpahan.
Sedangkan untuk tindak lanjut surat itu, menurutnya itu menjadi domain KPU.
Dia kembali menjelaskan selama tidak ada proses pemberhentian dari KPU RI, berarti tahapan pilkada tetap berjalan.
“Kita akan tunggu apapun hasil dari keputusan dan langkah KPU,” ucapnya.
Dia juga mengingatkan agar perbedaan pandangan ini agar masyarakat tetap menjaga Kondusifitas.
“Ini tanggung jawab kita semua khususnya masyarakat Kukar.
Kalo kemudian terjadi gejolak , Kukar juga yang dirugikan,” ungkapnya.
Dia menambahkan bahwa semua pihak harus menunjung tinggi asas demokrasi, yaitu saling menghargai satu sama lain.
“Semua memiliki hak konstitusi, ada saluran hukum yang harus ditempuh ketika ada permasalahan,” ucapnya.
Dia juga mengatakan bahwa terkait beberapa laporan yang masuk di Bawaslu Kaltim, sempat ditangani tapi kasusnya berbeda.
“Ada tiga kasus berbeda yang dilaporkan ke Bawaslu dengan jenjang yang berbeda,” ucapnya.
Semua jenjang di Bawaslu, lanjut Galeh, juga memiliki pandangan hukum terhadap kasus yang berbeda juga.
Sementara itu pengamat politik Surya Irfani juga menyampaikan pendapatnya terkait surat yang beredar di media sosial tersebut. Dia menjelaskan soal pasal yang dikenakan Bawaslu kepada Paslon, pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015.
“Bawaslu tidak cukup hati-hati, karena pasal tersebut tidak berlaku karena sudah berubah di Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016,” ucapnya.
Dirinya menilai tak relevan jika yang diterapkan pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016. Karena pasal tersebut menyebutkan gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, walikota atau wakil walikota, dilarang menggunakan kewenangan program dan kegiatan yang menguntukan atau merugikan salah satu pasangan calon.
“Makna salah satu pasangan calon, berarti paslon lebih dari satu, Kukar itu Paslon tunggal. Pertanyaannya, siapa yang dirugikan siapa yang diuntungkan, gak relevan dong kalau Paslon tunggal,” kata Surya, yang juga merupakan dosen Universitas Kutai Kartanegara.
Kalau digunakan pasal pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015.
sudah tidak berlaku karena disebut disitu ketententuan pasal 71 diubah menjadi Nomor 10 tahun 2016.
“Bawaslu terkesan tidak hati-hati dan tergesa-gesa mengenakan pasal yang tidak berlaku,” ucapnya.
Untuk fenomena kolom kosong sendiri, kata Irfan, publik juga harus paham bahwa ada sesuatu yang timpang. Menurutnya, dibanyak kesempatan ketika Paslon, tim sukses atau pendukung terganggu dengan gerakan kolom kosong bahkan sampai fitnah dan segala macam, mereka tidak punya ruang untuk menuntut.
“Contoh di Balikpapan ketika kuasa hukum menuntut tidak memenuhi unsur, karena Kolom kosong bukan peserta pemilu, dia bukan subjek pilkada, tapi di sisi lain sering menganggu paslon seakan menjadi peserta,” ucapnya.
Dia melanjutkan, publik harus tahu kolom kosong bukan peserta. Filosofi lahirnya putusan MK, pada prinsipnya kolom kosong itu ruang bagi siapapun yang tidak sepakat dengan calon tunggal.
“Bila tidak setuju, tinggal menentukan saat pemilihan di kotak suara,” kata dia. (Akbar)