KALTIM bergantung industri ekstraktif sangat besar. Dari migas hingga batu bara, jadi sumber cuan di Kaltim. Namun, kondisi ini tak bisa terus menerus. Rangkaian permasalahan ekologis, dari suhu yang makin panas, banjir, longsor, hingga kematian anak di lubang tambang hanya sebagian kecil dari dampak industri eksploitatif.
Ancaman perubahan iklim pun semakin nyata dan sepertinya mulai terasa. Survei Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dan Unity of Trend (UniTrend). Di Kaltim, 99,6 persen responden di Kaltim menyebutkan Kaltim perlu mendeklarasikan kondisi darurat Kaltim dan menanganinya dengan lebih serius. Sebab, Menurut survei CELIOS dan UniTrend juga, 100% responden warga Kalimantan, Papua, Maluku, dan Sulawesi merasakan adanya krisis iklim pada 2023.
Sedangkan, melansir dari laman Kompas.id yang berjudul “Laju Kenaikan Suhu di Kaltim Tertinggi di Indonesia”, peneliti perubahan iklim dan dosen Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (STMKG), Dodo Gunawan, di Jakarta, Senin (5/6/2023) mengatakan Laju peningkatan suhu udara permukaan tertinggi di Indonesia terekam di Stasiun Meteorologi Temindung, Samarinda, Kalimantan Timur.
“Mencapai 0,47 derajat celsius per dekade,” jelasnya.
Sementara itu, riset soal peningkatan suhu di Berau yang dipublikasikan dalam jurnal Lancet Planetary Health. Menemukan peningkatan suhu 0,95 derajat celcius, dari 2002 hingga 2018 di Berau. Padahal, dunia membutuhkan 150 tahun, untuk menghangat 0,9 derajat celcius.
Perubahan Iklim yang nyata ini, membuat seluruh pihak harus menyelaraskan langkah agar bisa melakukan transisi energi dan menekan emisi agar perubahan iklim tidak melaju cepat.
Disadari Kaltim hidup dari berbagai perusahaan baik yang ekstraktif maupun non-ekstraktif. Mereka memiliki dana untuk melakukan tanggung jawab sosial lingkungan. Salah satu lembaga yang concern di isu transisi energi adalah Yayasan Mitra Hijau (YMH). Mereka pun telah melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Forum CSR Kaltim. Sehingga, dana CSR dari perusahaan-perusahaan di Kaltim juga bisa diarahkan mendukung langkah-langkah transisi energi.
Dalam momen penandatanganan MoU itu, Ketua Forum CSR Yusan Triananda mengatakan, Kalimantan Timur membutuhkan semua dukungan dari lembaga yang mempunyai kompetensi di dalam melakukan implementasi energi terbarukan dan transisi energi berkeadilan
“CSR Kalimantan Timur ke depan juga akan lebih banyak dalam melakukan implementasi energi terbarukan guna peningkatan kesejahteraan, ekonomi, dan lingkungan, sekaligus berkontribusi secara positif di dalam pencegahan perubahan iklim,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pembina Yayasan Mitra Hijau (YMH) Dicky Edwin Hindarto menegaskan bahwa Yayasan Mitra Hijau sebagai lembaga yang bergerak di bidang transisi energi berkeadilan dan pembangunan rendah karbon memandang sangat penting kerja sama dengan Forum CSR Kalimantan Timur ini. Sehingga, tercipta aksi nyata di lapangan di dalam transisi energi berkeadilan.
“Dan pencegahan perubahan iklim, serta ekonomi hijau yang lebih bersih,” lanjutnya.
Kalimantan Timur menjadi wilayah penghasil batu bara terbesar di Indonesia. Ekonomi provinsi ini pun bergantung pada sektor industri ekstraktif. Maka dari itu, diperlukan langkah-langkah secara kontinyu, untuk memastikan transisi energi terus dilakukan di provinsi. Dengan catatan, transisi energi ini tidak akan meninggalkan siapapun di belakangnya. (red)