Unpopular Opinion: Justru Rojali dan Rohana lah yang Membuat Mal di Kaltim Tetap Eksis

Potret Big Mal Samarinda yang merupakan mal paling ramai di ibu kota Kaltim. (Fugo)

Anda pernah melihat atau mengalami sendiri tidak? Berniat beli sekotak tisu di swalayan dalam mal, tapi saat keluar, membawa 2 tas belanjaan berisikan mi instan, buah, susu formula, diapers, dan tentu saja tisu. Kalau pernah, berarti Anda sudah memvalidasi bahwa Rojali dan Rohana punya peran besar membuat mal, khususnya di Kaltim masih eksis di tengah kondisi krisis.

Oleh: Ahmad A. Arifin (Tebe), Anggota Rojali sejak 2011

Bacaan Lainnya

Belakangan, Rojali dan Rohana menjadi sorotan. Dianggap sebagai biang keladi dari turunnya omzet tenant di dalam mal. Oh ya, Rojali adalah akronim dari Rombongan Jarang Beli, sementara Rohana adalah Rombongan hanya Nanya-nanya.

Rojali dan Rohana diduga berasal dari kalangan menengah, baik menengah ke atas ataupun ke bawah. Mereka suka ke mal hanya agar dianggap keren, walaupun dompet dan rekening lagi kering-keringnya. Pertanyaannya, benarkah mereka pergi ke mal hanya untuk gengsi? Dan benarkah mereka penyebab omzet tenant mal turun drastis?

Tak Ada Kewajiban Harus Beli

Sebagai anggota Rojali sejak tahun 2011, saya belum sekalipun menemukan aturan yang menyebut, “Masuk ke mal harus belanja!” Itu artinya, belanja atau tidak adalah hak segala bangsa. Tak boleh ada penghakiman apapun atas semua tindakan pengunjung mal –dalam konteks belanja atau tidak.

Lagipula, hampir semua produk yang dijual di mal, sudah tersedia di toko tepi jalan. Lebih praktis dan efektif.

Mal Sudah Berubah Menjadi Destinasi Wisata

Di perkotaan, masyarakatnya mayoritas kalangan pekerja dan mahasiswa. Berkegiatan dari pagi sampai sore hari. Punya waktu luang hanya saat malam. Kegiatan jalan-jalan di saat matahari bersinar hanya bisa dilakukaan saat akhir pekan.

Hal ini membuat mal, yang awalnya adalah pusat perbelanjaan –tempat belanja. Berubah menjadi destinasi wisata.

Di malam hari, pilihan tempat ‘liburan’ warga sangat terbatas. Kalau enggak kafe, taman bermain bertema lampu, THM, karaoke, dan … mal. Dari pilihan ini, Anda bisa menilai dengan jelas, ke mana kebanyakan anak muda menghabiskan waktu malamnya? Yak! Ke kafe. Sementara kalangan keluarga? Benar! Ke mal.

Mal adalah tempat paling komplet. Untuk ibu-ibu, mereka tidak butuh alasan untuk menyebut mal sebagai ‘rumah’ kedua. Mal itu sangat hommie tanpa home work bagi kaum Hawa. Bagi anak-anak, mal adalah tempat bermain –bahkan sekadar berlarian di lantai mal yang lengang saja sudah membuat mereka riang. Dan tentu, mereka bisa beraktivitas fisik tanpa batasan ruang dan ancaman noda serta sinar matahari langsung.

Sedangkan untuk bapak-bapak, mal adalah tempat cuci mata. Ah, maksudnya, bapak-bapak bisa mendapatkan referensi buku bercocok tanam kangkung di Gramedia, ataupun katalog alat kebugaran. Itu semua membuat bapak-bapak senang (huh, hampir saja). Apalagi ditambah fakta, bahwa bapak-bapak adalah kaum yang gampang bahagia ketika melihat istri dan anak bahagia. Walaupun tulang pinggang reotnya berteriak, mereka tetap senang hati menemani istrinya jalan-jalan ke mal.

Dengan perubahan nilai mal, dari tempat belanja menjadi tempat wisata. Maka tujuan banyak orang ke mal adalah … ya, ke mal itu sendiri. Mal adalah tempat yang nyaman saat malam, dan adem ketika siang.

Jika ada tempat lain yang senyaman mal saat malam hari, tapi para warga dari segmen keluarga tetap bepergian ke mal. Boleh deh, dibilang kalau pergi ke mal karena gengsi.

Sebelum itu terjadi, maka mari menganggap bepergian ke mal itu untuk berwisata. Bukan buat gaya-gaya.

Bukti Lain Bahwa Mal Adalah Tempat Wisata

Apa yang biasa dilakukan orang saat berwisata? Jalan-jalan, makan, dan main. Percaya gak percaya, mayoritas pengunjung mal adalah untuk sekadar makan dan/atau jajan, jalan-jalan menelusuri lantai dan tenant, serta sesekali bermain di wahana permainan seperti Timezone.

Lihat, jenis kegiatannya sama kan?

Rojali dan Rohana Adalah Calon Pelanggan Potensial

Ada beberapa tipe pengunjung setia mal:

1. Mereka ke mal hanya untuk makan dan jalan-jalan, Rojali tulen.

2. Mereka adalah tipe 1, tapi karena sempat jalan-jalan ke tenant, mereka melihat barang yang menarik: entah jenis ataupun harganya, tiba-tiba jadi beli.

3. Dari rumah, sudah meniatkan membeli satu atau dua barang. Tapi saat memilih barang, tiba-tiba tertarik membeli yang lain.

4. Dari rumah memang sudah meniatkan membeli banyak barang.

5. Sudah berniat membeli sedikit atau banyak barang, tapi saat memilih, tidak mendapatkan good deal. Entah barang sasarannya tidak ada, kualitas tak sesuai ekspektasi, atau harga yang kemahalan. Tipe ini adalah cikal bakal Rohana.

Dengan kata lain, Rojali dan Rohana adalah calon pembeli potensial. Tinggal, apakah para pedagang telah menawarkan produk yang mereka butuhkan? Atau sudahkah para pedagang membuat penawaran menarik untuk calon pelanggan?

Omzet Turun akibat Rojali dan Rohana?

Jawabannya iya dan tidak. Karena pada dasarnya, Rojali dan Rohana itu adalah manusia normal, yang kondisi keuangannya kurang normal saja.

Manusia normal akan membeli sesuatu yang ia butuhkan, cenderung memilih barang yang sama tapi harga lebih murah, menyukai diskon walau barangnya kurang berguna. Itu semua adalah sifat manusia normal.

Nah, dengan kondisi kantung pas-pasan, makin membuat mereka lebih normal. Enggan asal beli. Jadi lebih mawas, kalau enggak penting-penting amat, ntar aja lah. Lebih pemilih pula, kalau di toko lain ataupun toko online lebih murah, beli di sana aja lah.

Karenanya, para pengusaha sebaiknya memakai prinsip usaha untuk menganalisa penurunan omzet mereka. Pertama, perekonomian kita memang sedang kurang baik. Daya beli turun. Pengusaha perlu beradaptasi. Entah dengan menyediakan produk yang dibutuhkan banyak orang, membuat penawaran harga menarik, ataupun ikut terjun ke pasar online (market place). Tanpa melakukan itu, jika pun nantinya muncul aturan ‘Masuk mal harus belanja!’ Tetap tidak akan mengubah situasi.

Rojali dan Rohana Adalah Tulang Punggung Mal

Menurut saya, manusia itu adalah makhluk Fomo. Ya gak semua sih, tapi kebanyakan. Mengukurnya begini saja. Anda rasanya sangat suka mengunjungi kafe atau kedai kopi yang sepi. Tempat asyik untuk ngobrol bebas bareng teman ataupun mencari ketenangan. Tapi jujur saja, apakah Anda suka pergi ke mal yang sepi?

Tentu tidak kan?

Mal yang dikunjungi lebih banyak orang, akan meningkatkan kepercayaan calon pengunjung. Dari aspek ini saja, keberadaan Rojali dan Rohana itu sudah penting banget, kan? Bayangkan mal tanpa kehadiran mereka, pasti sepi banget. Kalau sudah sepi, siapa yang akan Anda tawarkan diskon? Siapa yang akan tanya-tanya produk Anda, untuk membelinya di bulan berikutnya?

Di Samarinda, Kalimantan Timur, misalnya. Big Mall menjadi mal paling ramai, karena menawarkan space ‘berwisata’ yang lebih luas. Juga karena tempat itu yang paling banyak dikunjungi. Ikut-ikutan pergi ke tempat ramai.

Plaza Mulya sudah almarhum karena banyak pelanggannya berpindah ke mal lain. PM sempat bertahan beberapa tahun di masa pesakitannya. Tapi tak peduli managemen membuat program semenarik apa pun, dengan sedikitnya orang yang ke sana, membuat orang lain juga ogah ke sana.

Hidup Rojali!

Bagikan:

Pos terkait