Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan Dayang Donna Walfiaries Tania atau DDW. Tersangka kasus suap perpanjangan IUP di Kalimantan Timur periode 2013-2018. Menyusul ROC yang sejak 21 Agustus 2025 sudah mendekam dipenjara. Melalui konferensi pers, KPK memastikan bahwa kasus ini murni penyuapan. Bukan hadiah ataupun pemerasan.
Setelah hampir 1 tahun menyandang status tersangka terkait dugaan kasus suap penerbitan dan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan (IUP), DDW akhirnya ‘dipamerkan’ oleh KPK sedang mengenakan rompi oranye dengan nomor 73 kepada publik.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu membacakan konstruksi perkara, yang sebagian besar selaras dengan hasil pemeriksaan terakhir saat menahan Rudy Ong Chandra. Seperti waktu pengurusan perizinan, pihak-pihak yang terlibat, hingga runutan kejadian dari awal, negosiasi fee, pembayaran, hingga penyerahan dokumen IUP.
Dayang Donna Dipenjara
Asep menerangkan, KPK melakukan penahanan paksa kepada Dayang Donna selama 20 hari, untuk memudahkan proses penyidikan perkara.
“Saudara DDW ditahan untuk 20 hari pertama terhitung sejak 9 September-28 September 2025. Di Rutan Pondok Bambu,” ujarnya, Rabu, 9 September 2025.
Dengan demikian, KPK telah menahan semua tersangka awal dalam kasus ini. Yakni Rudy Ong pada 21 Agustus lalu, dan Dayang Donna pada 9 September kemarin. Sementara Awang Faroek yang telah meninggal dunia, kasusnya tidak dilanjutkan, alias status tersangkanya gugur.
Murni Kasus Suap
Sejauh penyidikan berjalan, KPK dapat memastikan bahwa kasus ini murni penyuapan. Bukan pemberian hadiah ataupun pemerasan.
“Modus yang muncul dari proses perizinan ini adalah suap untuk mempercepat terbitnya izin. Dari pengusaha yang ingin menanamkan modalnya di pertambangan, harus mengeluarkan sejumlah uang untuk memperlancar keluarnya izin.”
“Ini sebetulnya, kategorinya, tempat penambangan tidak berada pada jalur yang diperbolehkan, sehingga muncul keinginan dari oknum pengusaha untuk memberi sesuatu kepada penyelenggara supaya mau melanggar aturan.”
“Jadi suap yang terjadi dalam perkara ini (periode 2013-2018) izin-izin yang dikeluarkan itu di luar ketentuan,” terang Asep.
Perbedaan Suap, Hadiah, dan Pemerasan
Penyelenggara negara bisa mendapatkan uang di luar ketentuan dari berbagai pihak melalui beberapa cara. Pertama adalah hadiah, semisal pengusaha memberikan sesuatu kepada kepala daerah karena perusahaan yang beroperasi di wilayahnya meraup untung besar atau semacamnya.
Kedua adalah pemerasan, di sini kepala daerah secara terang-terangan meminta sejumlah uang kepada pengusaha misalnya, tanpa alasan yang jelas. Umumnya karena faktor keserakahan saja. Uang itu diminta untuk dirinya secara pribadi, bukan masuk kas negara, juga bukan dalam momen proses perizinan, CSR, dan lainnya. Jika tidak memberi, kepala daerah mengancam akan mempersulit pengusaha tersebut.
Ketiga adalah suap, umumnya terjadi karena pengusaha ingin mendapatkan izin usaha lewat cara yang tidak benar. Pemberian uang itu agar kepala daerah bersedia melanggar hukum dan menguntungkannya. Sebab jika meminta perizinan lewat cara legal, tidak akan didapat karena usahanya berada di wilayah yang tidak seharusnya.
Nah, dalam perkara ini, kategorinya adalah penyuapan, karena tanpa penetrasi dari Awang Faroek melalui anaknya; Dayang Donna kepada Dinas ESDM. Penerbitan dan perpanjangan 6 IUP itu tidak akan terjadi.
Penerbitan IUP Ada di Tangan Awang Faroek
Penerbitan IUP kan ada di Pemerintah Pusat, kenapa yang terlibat justru mantan gubernur? Bukan pejabat kementerian seperti tambang Raja Ampat?
Nah, pembaca perlu tahu dulu nih. Kalau kewenangan penerbitan IUP telah mengalami 2 kali revisi. Periode 2009-2014, kewenangannya masih berada di tangan Pemerintah Kabupaten/ Kota dan juga Provinsi. Tapi karena terjadi banyak penyelewengan serta tumpang tindih izin, akhirnya regulasinya diubah. Tepatnya pada periode 2014-2020, kewenangannya berpindah ke Pemerintah Provinsi. Sayangnya praktik penyelewengan masih banyak terjadi, sehingga Pemerintah RI era Joko Widodo saat itu mengubah aturannya lagi. Yakni sejak 2020 sampai saat ini, kewenangan penerbitan IUP ada di tangan Pemerintah Pusat melalui Online Single Submission (OSS) dan MODI ESDM, daerah hanya berperan dalam pengawasan teknis.
Kasus ini sendiri terjadi di kurun 2014 dan 2015, sehingga saat itu, gubernur (Awang Faroek) memiliki kewenangan besar dalam menerbitkan IUP, melalui OPD teknisnya Dinas ESDM. (gis)