Kedang Ipil, Desa Wisata yang Kental Dengan Budaya dan Kaya Sejarah (1-Bersambung)

Para Belian Adat Kutai Lawas, sedang mengembara di alam Swargaloka. Sumber foto
Para Belian Adat Kutai Lawas, sedang mengembara di alam Swargaloka, pada 2017 lalu. Sumber foto: FB Awang Van Kuthai.

Mediaetam.com, Kukar – Tak hanya menjadi desa wisata, Kedang Ipil, Kecamatan Kota Bangun, kental akan budaya dan kaya akan sejarah.

Saat itu, puluhan Warga Desa Kedang Ipil, Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara (Kukar tengah) berkumpul di Balai Adat di desa tersebut. Para warga bergotong-royong, menyiapkan acara pernikahan, Sabtu malam, 29/8/2020 lalu. Murad, 53 tahun, tengah duduk melingkar bersama sejumlah tokoh masyarakat.

Bacaan Lainnya

Murad merupakan tokoh adat di sana, ia merupakan saksi sejarah. Sebelum dan hingga masuknya Protestan, Islam, dan Katolik di Desa Kedang Ipil. Juga sempat menganut kepercayaan Kutai Adat Lawas yang disebut serupa dengan Kaharingan.

Sebelum 1972, banyak kalangan menyebut warga Desa Kedang Ipil adalah Kaharingan. Namun, warga di sana tak mengetahui jika mereka disebut Kaharingan. Yang mereka tahu, warga Kedang Ipil menjalankan dua hal. Pertama, menjaga alam dan melestarikan budaya adat leluhur. Begitulah kepercayaan mereka.

“Banyak yang bilang mirip Kaharingan. Tapi kami di sini tidak ada menyebut sebagai agama tertentu. Banyak yang menyebutnya sebagai Kutai Adat Lawas, katanya memang mirip dengan Kaharingan,” kata Murad, di Desa Kedang Ipil, akhir Agustus lalu.

Banyak ritual yang dimiliki warga Kedang Ipil, salah satunya adalah Nutu Beham, ritual yang dilakukan saat masa panen padi gunung. Di mana, beras dari padi gunung diolah menjadi ketan, di bawah ke panggung adat, kemudian ditumbuk menggunakan alat yang tersedia di panggung adat.

“Tidak ada agama, yang ada hanya adat istiadat,” kata Murad.

(Ahmad Fajri Alam/Mediaetam.com)

 

Murad ingat betul, pada tahun 1972 merupakan pertama kalinya agama Protestan masuk. Saat itu, dari tokoh dari Agama Portestan masuk ke desa untuk menyebarluaskan ajaran agamanya. Namun, dari sekitar 272 kepala keluarga atau KK, hanya 4 KK yang menjadi penganut agama tersebut.

“Kemudian pada 1978 itu datang Agama Islam, yang datang orang dari Kesultanan Kutai Kartanegara. Yang masuk Islam ada sekitar 20 KK,” kata Murad.

Artinya, hingga 1978, mayoritas warga Kedang Ipil masih memilih untuk mempertahankan keyakinan yang mereka sebut sebagai adat istiadat, bukan agama.

Perubahan besar-besaran terjadi ketika 1978, Kepala Desa Kedang Ipil saat itu, mengajak warga untuk menjadi penganut Agama Katolik.

Agama Katolik, menurut Murad dan sejumlah warga sekitar, lebih akomodatif dengan adat istiadat mereka. Sehingga, mayoritas penduduk kemudian, setuju untuk menjadi penganut katolik.

Hingga 2020, penganut keyakinan yang warga sebut sebagai adat istiadat, masih tersisa 4 KK. Namun, warga menolak untuk membuka, siapa saja penganut tersebut.

“Kami melindungi, karena warga di sini juga masih percaya. Kalau adat leluhur itu habis, tidak ada lagi yang meneruskan, bisa tidak baik,” kata Murad.

Kendati demikian, untuk legalitas di kartu tanda penduduk atau KTP. Warga yang memilih bertahan tersebut, mengisi kolom agama, mengikuti pilihan keluarga yang telah memilih antara Katolik, Islam, dan Protestan.

“Kalau keluarganya Islam, di KTP-nya ditulis Islam. Kalau Katolik, ditulisnya Katolik. Iya begitu,” kata Murad. Bahkan, hingga kini, di Desa Kedang Ipil, tak sedikit keluarga yang satu rumah, dengan pilihan agama yang berbeda-beda.

“Berjalan seperti biasa, satu rumah beda agama, kemudian menjalankan agama masing-masing,” kata Murad.

Seperti apa sebetulnya keyakinan yang dianut mayoritas warga Kedang Ipil sebelum 1978? Bagi Murad, dari segi ritual dan tradisi, memang lebih mirip dengan Kaharingan.

“Modelnya itu kayak Kaharingan, jadi tahun 1977 itu isi kolom agama KTP saya animisme,” kata Murad.

Dirinya juga menggambarkan, warga yang masih menganut keyakinan yang disebut serupa dengan Kaharingan tersebut, akan marah jika dipaksa untuk memilih agama yang masuk sejak 1972.

“Jadi kami lindungi, kalau tidak bisa sampai ribut,” kata Murad.

Saat ditanya, mengapa memilih istilah dilindungi. Apakah ada ancaman jika tidak dilindungi, Murad dan warga lainnya membantah. Bagi mereka, tidak ada ancaman. Hanya saja, tidak ingin memaksa apa yang masih jadi keyakinan 4 KK yang tersisa tersebut. (***)

Bagikan:

Pos terkait

Tinggalkan Balasan