Mediaetam.com, Berau – Kampung Eka Sapta yang terletak di Kecamatan Talisayan, Kabupaten Berau, telah dikenal luas sebagai penghasil jagung terbesar di wilayah Kabupaten Berau dan bahkan Kalimantan Timur.
Kampung ini pula yang pertama kali membesarkan nama Kabupaten Berau sebagai kabupaten penghasil jagung terbesar di Kalimantan Timur.
Namun, akhir-akhir ini, kampung tersebut sedang mengalami beberapa persoalan dalam bidang produksi seperti kekurangan benih, harga pupuk, dan sebagainya.
Akibatnya, produktivitas jagung di kampung tersebut dikhawatirkan terus menurun. Apalagi, saat ini telah terjadi alih fungsi lahan untuk penanaman sawit.
“Pada tahun 2022, tidak ada sedikit pun bantuan benih jagung,” ungkap Kepala Kampung Eka Sapta, Syamsul Arifin, saat Musrenbang tingkat Kecamatan Talisayan, Selasa (28/02/2023).
Sebelumnya, masyarakat menanam jagung karena mendapat bantuan benih atau bibit dari pemerintah kabupaten, provinsi, anggota dewan, serta dari pihak lain.
Namun, sejak tidak ada bantuan benih, masyarakat tidak mampu lagi memproduksi jagung secara maksimal. Tidak hanya itu, harga pupuk yang kian mahal makin memperparah situasi tersebut.
Syamsul berharap agar benih itu dapat diperoleh lagi tahun ini. Jika memungkinkan diperoleh melalui dana ABT. Sebab, harga benih di pasar, tidak lagi murah.
“Harga benih itu kemarin, kalau tidak salah, merk pertiwi, itu sekitar Rp 85.000 per kilogram,” sambungnya.
Akibat ketiadaan bantuan benih, lahan jagung seluas 660 hektare di Eka Sapta pada 2022 lalu itu dimanfaatkan juga untuk penanaman sawit.
“Alih fungsi lahan itu sekitar 20 persen. Cuma masih ada yang tanam jagung. Itu untuk mereka yang mampu beli bibit,” sambungnya.
Bila dilihat secara cermat, luasnya lahan ditambah hasil panen yang melimpah dapat membuat masyarakat sejahtera. Apalagi ketika jagung tidak terkena penyakit, petani jagung dapat memeroleh hasil 4-5 ton dalam sekali panen.
“Sebelum tahun 2022, di Eka Sapta itu, petani jagung selalu rutin tanam dan panen, hampir setiap hari. Kami cukup semangat,” tegasnya.
Penghasilan juga cukup baik karena memang warga dibantu dengan Alsintan yang memadai, gedung pengering yang memiliki banyak kapasitas seperti Vertical Dryer dengan kapasitas 10 ton dan Bed Dryer dengan kapasitas sekitar 6 ton.
“Kami juga bantu dari dana kampung, penjemuran manual yang ditaburi lantai dengan gedung beratap transparan. Itu untuk mengurangi biaya produksi. Dan, kami gratiskan. Tidak pungut biaya sepeser pun,” sambungnya.
Selain produksi, distribusi pun berlangsung cukup baik. Petani jagung menjual hasil panennya tidak hanya di daerahnya sendiri, tetapi juga di luar daerah.
“Memang tetap kita prioritaskan untuk menjual hasilnya di daerah Kabupaten Berau. Tapi ada juga yang dikirim ke Samarinda. Bahkan, sampai ke Surabaya via kontainer,” terangnya.
Untuk mendukung distribusi dan pemasaran ini, pemerintah kampung pun berusaha membangun kontrak dan kerja sama.
“Pernah juga kita bertemu dengan Forum Bulog untuk menjual hasil panen jagung tetapi rupanya tidak ada harga yang bisa disepakati secara bersama karena kalau dipatok di situ mungkin petani merasa dirugikan,” kisahnya.
Selain benih, kendala lain dan sangat penting yang dihadapi saat ini yakni jaringan listrik menuju gedung pengering.
“Nah, sekarang ketika petani kami volume panennya banyak, maka harus dikeringkan menggunakan mesin pengering. Sementara penggeraknya harus menggunakan listrik.
Sementara ini, kami masih menggunakan mesin diesel yang menggunakan bahan bakar solar. Sementara solar kita ini cukup susah. Harganya juga tinggi. Kami beli eceran di atas Rp 10.000. Ini mengganggu juga petani,” jelasnya.
Karena itu, pihaknya meminta PLN untuk membangun jaringan listrik menuju gedung pengering itu. Sebab, pemerintah kampung tidak mungkin memiliki kewenangan dalam pembangunan jaringan itu.
“Kami mau menggunakan ADK tapi soal ini merupakan ranahnya PLN,” terangnya.
Pada beberapa kali Musrenbang, pihaknya memang mengharapkan agar PLN dapat mendengarkan usulan itu.
“Nanti kita support dengan dana ADK untuk pemasangan Kwh dan lain-lain. Cuma saya sayangkan, selama beberapa kali Musrenbang tidak pernah hadir perwakilan dari PLN,” keluhnya.
Pj Sekda Berau Agus Wahyudi, secara khusus, menyayangkan adanya peralihan sentra jagung ke sawit yang terjadi di Kampung Eka Sapta.
“Padahal kemarin untuk support jagung kita sampai memutuskan untuk kontrak jalan aspal Rp 55 miliar ke kebun jagung,” katanya.
Namun, Agus tidak menyangkal bahwa peralihan fungsi lahan dari jagung ke sawit tersebut juga terjadi karena hukum pasar.
“Saya sempat bicara dengan salah satu perusahaan. Saya tanya kenapa tidak ambil jagung di Berau. Dia bilang jagung di Berau kualitasnya bagus. Hanya masalahnya di transportasi yang tidak efisien. Itu kan, hukum pasar,” sambungnya.
Kendati demikian Agus pun tetap berupaya dan mendukung agar stok jagung di Dinas Pertanian tetap ada.
“Supaya, seperti kepala kampung tadi bilang, beberapa tahun terakhir, tidak ada lagi support bibit jagung segala macam. Kalau bisa, jagung kita yang sudah punya nama itu, jangan sampai hilang,” kuncinya. (*/Elton Wada)
Editor: Elton Wada