Nelayan Maratua Kini Melempar Joran, Tak Lagi Beli Bom di Negeri Jiran

Pemandangan saat senja di Maratua (foto: Nofiyatul Chalimah)
Pemandangan saat senja di Maratua (foto: Nofiyatul Chalimah)

Warga Pulau Maratua, Kabupaten Berau,  sudah turun temurun hidup dari tuah lautan yang mengepung rumahnya. Menangkap ikan dari menombak, memanah, dan memancing, pun perlahan berganti. Hingga teknologi mengubah cara mereka mendapatkan ikan. Meledak, murah, cepat, dan hasilnya banyak. Tetapi, itu merusak rumah mereka. Kini, mencari ikan pun, kembali ke seperti cara-cara kakek buyut.

Nofiyatul Chalimah – Pulau Maratua

Perahu kecil bertenaga mesin dompeng, milik Ali Norton menuju ke utara. Perjalanan 14 jam dengan perahu dompeng itu, bakal dia tempuh menuju negara tetangga, tepatnya Tawau, Malaysia. Tiap bulan, Ali bakal ke Malaysia.

Sama seperti perjalanan sebelumnya, dia akan menjual kulit-kulit kerang dan juga membeli berbagai keperluan. Dari kebutuhan sehari-hari, bahan bakar, hingga kebutuhan mengebom ikan, seperti pupuk cap matahari dan sumbu ledak atau Ali biasanya menyebut itu kip. Bentuknya seperti pipa besi yang berisi peledak, merek yang disukai adalah merek 88. Pulang dari Tawau, Ali bakal membagi unit sumbu ledaknya jadi 12 potong, agar lebih hemat.

“Modalnya total paling Rp10 ribu saja. Bisa dapat ikan paling sedikit satu ton, satu kali berangkat. Kadang berangkat pagi, malam sudah pulang. Ikan itu masih utuh, jadi kalau bom itu kayak ada denyutnya yang mematikan ikan-ikan,” kenang Ali.

Ali Norton saat bercerita ke Mediaetam di Markas Nelayan Payung-Payung (Foto: Nofiyatul Chalimah)
Ali Norton saat bercerita ke Mediaetam di Markas Nelayan Payung-Payung (Foto: Nofiyatul Chalimah)

Tetapi, praktik bom ikan itu jadi masa lalu bagi Ali. Kini, Ali sudah tak lagi jadi pengebom ikan. Dia jadi bagian dari mayoritas nelayan-nelayan di Maratua, yang kembali mencari ikan dengan ramah lingkungan. Menjala, menombak, memanah, atau memancing lagi.

Lelaki asli Kampung Payung-Payung Pulau Maratua ini, mengatakan belajar mengebom ikan dari lingkungan sekitar. Bagi anak-anak Maratua, membuat bom ikan atau sekadar pakai potassium untuk memabukkan ikan, bukan hal sulit.

“Dari bapak saya, sudah ada pakai bom ikan itu. Dulu memancing saja, kemudian 90an mulai banyak yang ngebom,” kata dia saat diwawancarai pada 13 Maret 2025.

Sama seperti anak-anak Maratua lainnya, lelaki kelahiran 1976 itu pun ikut mencari ikan. Ali mengenang sejak anak-anak pada dekade 80an, dia sudah ikut ayahnya yang asli penduduk Maratua, mencari ikan.

Ali pun merasakan mencari ikan dari sekadar memancing, lalu pakai potas, hingga meledakkan karang. Dia membom ikan juga tak jauh. Hanya di “halaman” rumah. Di dekat bibir pantai Kampung Payung-Payung. Sekali bom, satu ton ikan bisa terkumpul.

“Kalau enggak sampai satu ton, ikannya enggak dibom. Kita kan nelayan kan sudah tahu hitungannya. Kita lihat rombongan ikan itu sudah satu ton. Nah itu hantam sudah. Tetapi itu dahulu, waktu ikan masih banyak,” kenang lelaki berdarah Suku Bajau itu.

Pulau maratua dipotret dari ketinggian (Foto: Nofiyatul Chalimah)
Pulau maratua dipotret dari ketinggian (Foto: Nofiyatul Chalimah)

Namun, setelah 2014/2015, dia mulai meninggalkan praktik ini. Beberapa pertimbangan jadi sebabnya. Mulai dari petuah dari orangtua, keyakinan soal uang hasil bom ikan, risiko celaka, risiko penyakit, hingga risiko ditangkap polisi.

“Sebenarnya, bapak saya dahulu sudah bilang. Jangan ikut-ikut ngebom,” sambung Ali.

Ayahnya berpesan seperti itu, karena risiko kecelakaan dan penyakit karena praktik bom ikan. Namun meski ayahnya berpesan begitu ke Ali, dia akui ayahnya tetap mencari ikan dengan bom.

Apalagi, dahulu tidak ada edukasi soal dampak lain dari bom ikan. Tahunya ya tiap membom ikan berarti bertaruh nyawa. Bom ikan pun tetap dilakukan karena cara itu yang cepat untuk dapat uang.

Walaupun, sebenarnya ada keyakinan di antara para nelayan, uang yang dihasilkan dari penjualan hasil dari bom ikan itu, dianggap “uang panas”. Cepat dapat uangnya, tapi uangnya entah ke mana habisnya. Dianggap kurang berkah.

Belum lagi risiko penyakit karena melakukan penyelaman pakai kompresor angin dan kecelakaan hingga tewas. Kasus kecelakaan akibat bom ikan itu kebanyakan disebabkan, bom meledak di luar perkiraan nelayan. Bisa terlalu cepat, atau dikira tidak meledak, namun saat dicek ternyata baru meledak. Dia mengenal beberapa nelayan yang kena bom ikannya sendiri.

“Ada juga yang sudah hilang anggota tubuhnya. Kasihan juga dia anaknya banyak,” sambungnya.

perahu nelayan di Pulau Maratua (Foto: Nofiyatul Chalimah)
perahu nelayan di Pulau Maratua (Foto: Nofiyatul Chalimah)

Ali menambahkan, melaut memang tak semudah dahulu. Banyak faktor jadi sebab, mulai dari karang-karang yang rusak karena bom ikan, juga masalah lain adalah cuaca yang tak bisa lagi tepat diprediksi.

Dahulu, nelayan Maratua bisa memprediksi tiap Februari adalah angin utara. Lalu Maret bakal teduh sampai Juni. Walaupun pada Juni terkadang ada angin timur, biasanya tidak lama, sekitar 15 hari saja. Lalu, lanjut lagi pada Agustus itu angin selatan.

“Tapi sekarang, enggak bisa begitu lagi. Kadang-kadang kita tahu dia itu selatan, tapi nanti utara tiup. Kalau dahulu, selatan itu kan enggak ada hujan, sekarang jangan coba-coba. Arus juga enggak bisa diprediksi. Kalau pasang surut masih bisa prediksi,” cerita dia.

Meski tak mengebom ikan lagi, cuan masih bisa didapat Ali dan nelayan Maratua lainnya. Kalau musim Ikan kerapu, seperti saat Maret-April, para nelayan bisa mengumpulkan sekitar Rp 7-8 juta dengan dua kali melaut dalam sebulan.

Namun, mereka tak bisa lagi sekadar mencari ikan di halaman rumah seperti dahulu. Para nelayan mesti ke arah Karang Muaras atau Malalungun yang berada di selatan Pulau Maratua. Sekali melaut, bisa semingguan dengan perahu sekitar 5 gross tonnage (GT).

Sedangkan Ali, yang disebut sebagai nelayan pengebom ikan terakhir dari Kampung Payung-Payung, saat ini memilih mencari ikan lebih santai. Ali memancing untuk mendapatkan ikan-ikan karang. Berangkat pukul 8 pagi, pulang pukul 4 sore. Jika di puncak musim ikan, dia bisa dapat 40an kilogram karang. Meski tidak sebanyak hasil bom ikan, tapi hasil ikan dari pancingan lebih bagus dan diminati pembeli. Apalagi, saat ini penjualan juga banyak diminati untuk wisatawan. Ali pun tetap bisa menguliahkan anaknya hingga ke kota Samarinda, Kalimantan Timur.

Meski tak dapat ikan berton-ton lagi, Ali kini tetap memilih jadi nelayan ramah lingkungan lagi. Terlalu banyak risiko jika tetap ngotot membom ikan, tidak hanya kematian atau cacat, risiko dipenjara juga bisa dia hadapi.

“Saya ada lihat di youtube, nelayan-nelayan daerah lain malah video dan posting dia bom ikan. Kok berani sekali,” sebutnya.

Perubahan para nelayan ini disebut tidak lepas dari pengembangan pariwisata di Maratua. Sejak satu dekade lalu, pariwisata Maratua dikembangkan, resor-resor mewah dan homestay-homestay warga bermunculan.

Mengambil data Badan Pusat Statistik (BPS) Berau, pada 2014 hanya ada 30 unit sarana akomodasi, dan meningkat tiga kali lipat pada 2023. Paket-paket wisata yang menjual keindahan bawah laut Maratua dipasarkan. Ada yang khusus di Maratua saja. Ada pula yang satu paket dengan Pulau Derawan dan Pulau Sangalaki.

Selain itu, Maratua juga menarik berbagai lembaga mulai dari yang pelat merah atau pelat hitam. Mereka mengedukasi soal bom ikan dan mengubah cara kerja nelayan yang tidak ramah lingkungan. Beberapa lembaga, juga menyasar ke pengepul terlebih dahulu. Hingga, kebiasaan pun mulai berubah.

Hal ini disampaikan Kepala Kampung Payung-Payung, Rico. Dia merasakan perbedaan di Maratua dibanding dua dekade lalu. Dia bercerita, sekitar 20 tahun lalu, nelayan dari kampungnya itu yang paling ekstrem dalam menangkap ikan dengan merusak.

“Di Maratua dulu itu paling besar pengebom ya dari Payung Payung. Depan kampung sini saja mengebomnya,” cerita Rico sambil menunjuk hamparan pantai di depan kantornya pada 13 Maret 2025.

Pantai di depan Kantor Pemerintah Kampung Payung Payung (Foto: Nofiyatul Chalimah)
Pantai di depan Kantor Pemerintah Kampung Payung Payung (Foto: Nofiyatul Chalimah)

Dari yang tua hingga muda pun sudah bisa merakit bom ikan atau meracun ikan. Anak-anak, biasanya menggunakan potasium atau racun ikan. Jadi potas akan mereka semprot ke karang lalu ikan yang mabuk atau kena racun akan timbul ke permukaan air.

Sedangkan, merakit bom ikan  lebih rumit, dan lebih sering dilakukan orangtua. Dahulu, katanya, bom ikan bukan sekadar untuk mencari nafkah, namun juga seperti senjata tradisional masyarakat Maratua.

“Zaman dulu masih tahun 90an, nelayan bawa bom ikan, bukan hanya untuk ngebom. Tetapi juga untuk menghadapi perompak-perompak di laut, untuk senjatanya,” sambung Rico yang turun-temurun hidup di Pulau Maratua ini.

Kepala Kampung Payung Payung Rico (Foto: Nofiyatul Chalimah)
Kepala Kampung Payung Payung Rico (Foto: Nofiyatul Chalimah)

Apalagi, dahulu banyak perampok-perampok Filipina yang masuk ke kampung. Warga pun sudah menyiapkan bom ikan. Kemudian, sepuluh tahun ke belakang pariwisata mulai masuk. Berbagai lembaga juga masuk mengedukasi soal perikanan yang merusak.

Tidak langsung ke nelayan, tetapi ke pengepul ikan di wilayah ini seperti dirinya. Mereka mendapatkan pembinaan, juga belajar kualitas ikan hasil bom dan ikan dari pemancingan yang ramah lingkungan. Ternyata memiliki nilai jual  berbeda. Sebab, kualitas lebih baik pada ikan hasil tangkapan yang ramah lingkungan. Pengepul besar di Payung Payung yang tidak mau terima ikan hasil bom.

“Soalnya beda. Lebih sehat. Ikan bom itu kelihatan luarnya bagus, tapi dalam ikannya bisa hancur, Ikan juga lebih gampang busuk,” sambung Rico.

Sempat ada penolakan dari para nelayan. Mereka memilih tetap mengebom ikan, dan menjual ikan ke pengepul lain yang masih mau menerima. Namun, sejak pariwisata dikembangkan, banyak tamu diving, nelayan mulai menjauh dan berhenti mengebom ikan. Apalagi mereka juga merasakan harga ikan juga lebih mahal jika ramah lingkungan.

“Bahkan sekarang nelayan-nelayan di Maratua, yang ngelaporin kalau ada yang ngebom di sekitar sini. Kami juga bikin komunitas peduli lingkungan di sini. Kami bersih-bersih pantai dan ikut transplantasi karang juga,” sebut Rico.

suasana di Kampung Payung Payung (Foto: Nofiyatul Chalimah)
suasana di Kampung Payung Payung (Foto: Nofiyatul Chalimah)

Saat ini, kata Rico, pusat pencarian ikan ada di Karang Muaras, dan banyak nelayan-nelayan dari berbagai wilayah cari ikan di sini. Tidak hanya dari Maratua. Ada yang dari kecamatan lain Berau seperti Batu Putih atau Biduk-Biduk, bahkan ada juga dari pulau lain seperti Sulawesi, hingga Pulau Madura.

“Karang Muaras ini karang tenggelam. Luasnya seperti Maratua. Tetapi, belum jadi pulau seperti Maratua,” sambungnya.

karang tenggelam di sekitar Maratua (foto; Nofiyatul Chalimah)
karang tenggelam di sekitar Maratua (foto; Nofiyatul Chalimah)

Ikan-ikan karang sekarang jadi andalan Maratua, seperti Kerapu. Selain memenuhi kebutuhan wisatawan, juga dijual ke wilayah lain di Kalimantan Timur. Bahkan, ekspor juga.

Rico bersyukur nelayan sudah meninggalkan potasium dan bom ikan. Untuk potassium masih mudah didapat, bisa beli di daratan utama seperti Tanjung Redeb, Berau atau ke Tarakan. Namun, untuk bom ikan, biasanya mesti ke Malaysia. Dampak bom ikan juga lebih berat untuk karang. Sebab, bom ikan akan menghancurkan karang. Sedangkan, saat ini daya tarik Maratua bagi para wisatawan adalah keindahan terumbu karangnya.

Karang-karang di Maratua 

Pulau Maratua adalah pulau terluar di Kalimantan Timur. Masuk ke Kabupaten Berau, wilayahnya berhadapan dengan Filipina. Sejak dahulu, mayoritas masyarakat Maratua adalah suku Bajau yang berprofesi sebagai nelayan. Jumlah penduduknya, hampir 4 ribu orang yang tersebar di empat kampung yaitu Teluk Alulu, Bohe Silian, Teluk Harapan, dan Payung Payung.

 

 

Pulau Maratua, kini dikenal sebagai destinasi wisata menyelam. Pemerintah pun lagi berupaya mengembangkan sektor wisata di pulau ini. Terumbu karang di Pulau Maratua menjadi daya tarik.

Dalam penelitian Hendrawan Sjafrie pada 2016 yang dipublikasi jurnal Satya Minabahari, berdasarkan pengelompokannya, komposisi penyusun habitat  terumbu karang di perairan Pulau Maratua didominasi oleh karang keras dengan rata-rata tutupan dari 20 stasiun adalah 62 persen.

Komposisi dominan berikutnya, karang mati dengan rata-rata tutupan 22 persen, dimana hal ini terjadi akibat dilakukannya pengeboman ikan di masa lampau juga  akibat gelombang tinggi.

Sayangnya, dalam setengah abad, ekosistem ini mengalami peningkatan kerusakan hingga 50 persen. Data dari kajian yang rilis pada 2019 oleh Yayasan Kehati dan Terangi, kondisi tutupan karang hidup kurang dari 50 persen.

Data BPS Berau pun, pada 2023, perikanan tangkap di Maratua hanya 1.455 ton. Menurun jika dibanding 2015 yang mencapai 1.774 ton.

Keberlangsungan karang ini, tidak hanya berpengaruh pada tangkapan ikan. Tetapi juga pariwisata. Apalagi, saat ini, Maratua lagi gencarkan pariwisata.

resort baru di Pulau Maratua (Foto: Nofiyatul Chalimah)
resort baru di Pulau Maratua (Foto: Nofiyatul Chalimah)

Homestay, resort, dan hotel pun bermunculan. Berdasarkan data BPS, pada 2023 ada 98 akomodasi baik homestay, resort, dan hotel. Sedangkan, pada  2014 hanya ada 30 akomodasi.

Sementara itu, perairan Berau memang menjadi produsen ikan utama di Kaltim. Misal 2023, dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi ikan layang di Kaltim mencapai 5.252,88 ton, dan sebanyak 1.647,07 ton ikan layang berasal dari Berau.

 

Mengubah kebiasaan

Perubahan kebiasaan warga dari praktik bom ikan ke cara-cara ramah lingkungan, juga ada kontribusi dari kelompok-kelompok muda. Salah satunya, Muhammad Ardian, pendiri Maratua Peduli Penyu (Malipe). Dia mengunjungi beberapa sekolah di Pulau Maratua, juga beberapa wilayah pulau dan pesisir di sekitarnya seperti Derawan dan Batu Putih.

Dia mengajar bahaya penggunaan bom ikan dan masa depan Maratua. Sebab, untuk memerangi pelaku bom ikan, caranya harus melalui edukasi dan pengawasan efektif.

Malipe bersama tim gabungan rutin melakukan patroli di perairan ini. Dia punya metode, agar patroli berjalan efektif. Beberapa aksi pengeboman ikan, pencurian telur penyu, dan penyelundupan sirip hiu, sudah pernah didapatkan tim ini.

“Saya itu hafal pola para pengebom ikan dan perdagangan gelap penyu,” kata dia.

Muhammad Ardian saat diwawancarai Mediaetam.com
Muhammad Ardian saat diwawancarai Mediaetam.com

Bukan tanpa sebab, Ardian sudah lama berkecimpung di dunia konservasi di wilayah ini. Awalnya, dia bekerja untuk konservasi penyu. Dia pun beberapa kali investigasi di perairan Maratua dan Derawan. Ternyata kejahatan-kejahatan itu berkelindan. Termasuk bagaimana risiko bom ikan pada penyu. Beberapa kejadian penemuan penyu mati yang diduga karena bom ikan pun terjadi.

Pada April 2024, dua penyu mati dalam keadaan cangkang rusak, diduga akibat bom ikan. Bahkan, 10 penyu pernah ditemukan mati dalam kurun Desember 2017 dan Januari 2018.

Maka dari itu, ketika memutuskan membentuk Malipe dan mendapat kepercayaan untuk patroli. Patroli bukan sekadar lewat, tetapi mereka berkeliling sekitar tiga hari dua malam. Bermula di Pulau Balembangan yang tak berpenghuni di sekitar Karang Muaras, lalu mengelilingi sejumlah rute.

Dia pun menghafal titik mana di Karang Muaras dan titik karang-karang lain yang sering dibom nelayan. Malipe pun kerap ikut tim patroli gabungan.

Seperti Februari 2024. Tim Patroli Gabungan (Pos TNI AL Maratua Lantamal XIII, Polsek Maratua dan Malipe) berhasil membekuk pelaku bom ikan, di Karang Dangalahan Kampung Balikukup, Kecamatan Batu Putih, Berau.

Saat itu, hari terakhir patroli dan menuju Pulau Balikukup. Di sekitar Karang Dangalahan, tim Patroli Gabungan menyinggahi kapal yang sedang memancing. Mereka dapat informasi soal pengeboman ikan.

Tidak lama terdengar suara ledakan, sehingga Tim Patroli Gabungan langsung menuju ke arah suara ledakan. Mereka melihat sebuah kapal dompeng dengan seorang awak kapal keluar dari dalam air dengan bantuan alat kompresor.

Tim Patroli Gabungan pun langsung bergerak dan memeriksa awak dalam kapal. Sesuai dugaan, mereka menemukan pupuk campuran bom, locis (sumbu ledak), kompresor dan botol bir kosong yang diduga untuk tempat bom ikan.

“Kalau ada kompressor di perahunya, kebanyakan berarti dia ada ngebom ikan. Soalnya kompressor dia pakai buat nyelam,” kata Ardian.

Pemandangan deretan perahu di perairan Maratua (foto: Nofiyatul Chalimah)
Pemandangan deretan perahu di perairan Maratua (foto: Nofiyatul Chalimah)

Dia mengamini, saat ini nelayan-nelayan Pulau Maratua rata-rata tidak melakukan bom ikan lagi. Selain pengawasan, edukasi ke anak-anak dan para nelayan juga jadi kunci. Alasan harus menyasar anak-anak adalah agar ada tumbuh rasa bersalah sejak kecil ketika melihat pengeboman ikan. Dengan begitu, akan memutus mata rantainya.

“Karena rata-rata anak-anak nelayan itu, mereka sudah bisa bikin bom. Waktu penangkapan terakhir kita pada 2024, walaupun bukan anak Maratua, tapi kita dapat ada anak usia sekolah dibawa ngebom ikan. Itu kan artinya berbahaya,” jelas dia.

Meski begitu kerjanya tetap tak mudah. Timnya yang berjaga di pulau Balembangan, kerap mendapat intimidasi. Baik dari nelayan nakal dan juga pihak-pihak lain yang mencoba ganggu. Belum lagi gangguan lain.

Bahkan, saat ini Ardian juga mesti merogoh koceknya sendiri. Sebab, kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, berdampak pada donor yang membantu patrolinya. Padahal, dalam sebulan, patroli mestinya dilakukan 2 kali. Untuk biaya bahan bakarnya saja, perlu sekitar Rp 25 juta. Belum termasuk logistik lainnya.

“Sementara masih pakai uang sendiri. Untung saya masih punya speedboat yang bisa saya sewakan. Jadi, kalau pakai speedboat saya, bisa sekalian membantu upaya konservasi di Maratua,” ucapnya lalu tertawa.

Desain infografis oleh: Rahma A
Desain infografis oleh: Rahma Alief

 

Sumber Cuan nelayan

Seperti kata Ali, menjadi nelayan saat ini tidak mudah. Cuaca tak ramah, ikan makin sedikit, dan mencari ikan lebih jauh. Namun, mereka kini harus mencoba memancing dengan ramah lingkungan.

Sumber baru pun harus dicari. Baiknya, tak jauh-jauh dari urusan ikan dan laut. Selain pariwisata, sumber cuan barunya adalah budidaya ikan kerapu. Saat ini, ikan kerapu banyak dicari dan jadi komoditas ekspor ke Hong Kong.

Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Berau Yunda Zuliarsih menjelaskan pengembangan budidaya ikan kerapu, kini banyak terpusat di Kampung Bohe Silian.

“Sudah banyak bantuan, dan kita mulai berdayakan nelayan juga ke arah budidaya kerapu yang secara nilai ekonomisnya juga lebih mahal,” kata dia.

Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Berau Yunda Zuliarsih
Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Berau Yunda Zuliarsih

 

Budidaya ini jadi upaya untuk sumber ekonomi lain bagi nelayan. Salah satu alasan nelayan mengebom ikan adalah ekonomi. Dengan sumber ekonomi lain, katanya, akan mendukung edukasi soal bahaya bom ikan. Jadi, tidak melulu melarang tapi juga memberi alternatif nafkah.

“Soalnya, untuk nelayan Maratua, itu kan dibagi-bagi. Kita memang fokus ke SDM (sumber daya manusia) nelayan. Sarana prasarana itu di provinsi.”

Kerapu menjadi komoditas andalan Berau. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pada 2023 produksi kerapu budidaya di Kalimantan Timur mencapai 184,2 ton. Paling banyak dari Berau dengan produksi 154,49 ton.  Catatan Dinas Perikanan Berau, ekspor kerapu hidup pun meningkat. Pada 2021 tercatat 90,3 ton, 2022 menjadi 88,9 ton, kemudian 2023 naik jadi 143,16 ton, lalu jadi 133 ton. Ekspor ikan kerapu pun sudah bolak balik ke Hongkong.

Kini, patung ikan kerapu macan menyambut siapapun yang ke Kampung Bohe Silian. Menandakan, kerapu jadi andalan kampung ini. Padahal, dahulu ikan kerapu adalah ikan yang dibuang-buang oleh nelayan Maratua. Sebab, dahulu komoditas andalan Maratua adalah ikan asin. Kerapu, tidak bagus untuk dibuat jadi ikan asin.

Patung ikan kerapu yang menyambut siapapun sebelum datang ke Bohe Silian (foto: Nofiyatul Chalimah)
Patung ikan kerapu yang menyambut siapapun sebelum datang ke Bohe Silian (foto: Nofiyatul Chalimah)

Namun, sejumlah tantangan memang dihadapi budidaya Kerapu ini. Kepala Kampung Bohe Silian Tarmi mengatakan budidaya memang lagi digencarkan. Hanya saja, memang untuk budidaya, perlu modal dan keterampilan.

“Untuk lirikan masyarakat, lumayan antusias mereka untuk melakukan budidaya. Tantangannya sebagian masih kurang pengalaman cara berbudidaya,” sambung Tarmi.

Maka dari itu, saat ini masyarakat juga mendapat pelatihan. Budidaya kerapu ini pun menurut dia sangat potensial untuk Bohe Silian. Wilayah Bohe Silian pada 2024, pernah mendapat bantuan juga tiga ribu ekor bibit ikan.

Tarmi pun menjadi salah satu warga yang juga turut mencoba budidaya keramba jaring apung. Dia pun sambil belajar budidaya, di sela-sela profesi barunya sebagai kepala kampung sejak terpilih tahun lalu. Kini, dia tidak perlu jauh melaut lagi, usai bekerja di kantor kampung, dia akan menengok kerambanya.

“Tiap sore saya turun ke keramba. Kalau kita, budidaya kerapunya masih alami,” sambung dia.

salah satu keramba budidaya kerapu di Bohe Silian
salah satu keramba budidaya kerapu di Bohe Silian

Untung pun dia dapat. Tiap bulan, ada kapal dari luar yang langsung datang membawa kerapu hasil budidaya warga di kawasan tersebut. Tarmi berharap, pariwisata dan perikanan ramah lingkungan bisa berkembang di Maratua. Bagaimanapun, katanya, Maratua adalah rumah mereka.

“Harus dijaga agar warga Maratua tak hanya jadi penonton. Pulau Maratua pun tetap bisa jadi kehidupan untuk anak cucu kami.” (*)

Tulisan ini merupakan hasil Hibah Liputan dari Project Multatuli dan Environmental Justice Foundation

 

 

Bagikan:

Pos terkait