KIKA: Banjir Sumatera Bukan Musibah Alamiah, tapi Bencana Kebijakan

Ilustrasi: Area terdampak banjir bandang di Kuala Simpang, Aceh Tamiang, Kamis (04/12/2025). (©AP/Binsar Bakkara)

Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menegaskan bahwa banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara bukan sekadar fenomena alam, melainkan akibat dari serangkaian kebijakan yang mengabaikan ilmu pengetahuan dan memperburuk kerentanan ekologis di kawasan tersebut.

Dalam keterangan resmi yang diterima media ini pada Senin, 8 Desember 2025, KIKA menyatakan bahwa bencana yang terjadi di Sumatera tidak dapat dipandang sebagai peristiwa alamiah semata. Organisasi ini menilai rangkaian keputusan politik yang mengabaikan kajian ilmiah dan masukan akademisi menjadi faktor utama yang memperparah kerusakan ekosistem.

Bacaan Lainnya

“Ketika sains dipinggirkan, yang lahir bukan pembangunan, melainkan kerentanan baru yang justru menjerat masyarakat,” ujar KIKA.

Menurut KIKA, kerusakan lingkungan di berbagai wilayah Sumatera sudah berlangsung lama dan kini mencapai titik kritis. Hilangnya tutupan hutan di hulu, terutama di area konsesi perusahaan-perusahaan besar, mengurangi daya serap air dan meningkatkan risiko banjir bandang di wilayah hilir.

KIKA menilai pola eksploitasi sumber daya alam—mulai dari batubara, kayu, hingga perkebunan sawit—didukung oleh kepentingan elite ekonomi dan politik.

“Dalam model bisnis semacam ini, bencana hanyalah eksternalitas yang harus ditangani, bukan konsekuensi dari kebijakan yang mereka dorong,” tegas mereka.

Daerah pun diperlakukan sebagai lahan ekstraksi, bukan sebagai ekosistem yang harus dilindungi.

Kebijakan Tanpa Basis Ilmu Pengetahuan

KIKA juga menyoroti tata kelola kebijakan yang dinilai mengutamakan kepentingan jangka pendek dan relasi kuasa oligarkis. Mereka menilai pemerintah pusat masih memandang daerah sebagai wilayah eksploitasi, bukan ruang hidup warga yang harus dijaga keberlanjutannya.

Dalam konteks penanganan bencana, KIKA menyoroti peran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang dinilai masih menggunakan pola pengambilan keputusan sentralistik dan top-down. Menurut KIKA, pola tersebut merupakan warisan masa operasi kemiliteran di Aceh pada periode DOM hingga Darurat Militer/Sipil. Mereka menilai pendekatan seperti ini membuat sensitivitas sosial-ekologis terabaikan, karena kebijakan lebih didorong oleh logika komando.

KIKA juga mengkritik keputusan pemerintah pusat yang belum menetapkan bencana di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara sebagai bencana nasional. Mereka menilai kondisi fiskal daerah tidak memadai untuk menanggung beban penanganan bencana, terutama setelah pemangkasan dana transfer daerah.

Mereka menyoroti besarnya ketimpangan anggaran nasional. Dana penanggulangan bencana yang tersedia di BNPB disebut hanya sekitar Rp491 miliar, sementara program lain seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) menyedot anggaran hingga triliunan rupiah. Menurut KIKA, prioritas anggaran semestinya diarahkan pada penyelamatan warga terdampak bencana di Sumatera.

Kepercayaan Publik Terkikis

Ketidakmampuan kebijakan publik untuk merespons bencana secara tepat disebut KIKA ikut menggerus kepercayaan masyarakat. Warga merasa suara mereka tidak pernah benar-benar didengar, sementara dampak dari keputusan politik justru menghantam kehidupan sehari-hari: mulai dari kerusakan lingkungan, hilangnya mata pencaharian, hingga jatuhnya korban jiwa.

KIKA menegaskan bahwa tragedi banjir di Sumatera merupakan gambaran lebih luas dari kegagalan tata kelola nasional. Pengabaian ilmu pengetahuan dan dominasi kepentingan oligarki disebut menjadi akar permasalahan.

“Peristiwa ini menunjukkan betapa rapuhnya sistem kebijakan ketika ilmu pengetahuan disingkirkan dari proses pengambilan keputusan,” tutup KIKA. (gis)

Bagikan:

Pos terkait