Momen Ketika: Komnas HAM Jadikan Tokoh dan Cerita One Piece sebagai Media Belajar HAM

Komnas HAM memanfaatkan popularitas One Piece sebagai media edukasi HAM. (IST)

Ketika beberapa pihak negara, termasuk Kementerian HAM sewot bukan main terhadap fenomena bendera One Piece. Komnas HAM justru memasaknya menjadi ‘waktu yang tepat’ untuk memberi pelajaran soal HAM pada masyarakat di internet.

Fenomena bendera bajak laut ala One Piece mewarnai peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2025. Menjelang 17 Agustus, gambar tengkorak dengan topi jerami khas kru Mugiwara bertebaran di berbagai sudut negeri. Dari bendera yang berkibar di rumah-rumah, hiasan lomba kemerdekaan, hingga stiker di kendaraan, simbol ini mendadak menjadi ikon perayaan merdeka versi generasi muda.

Bacaan Lainnya

Namun, di balik meriahnya tren ini, muncul polemik di tingkat nasional. Pemerintah, melalui Menteri Hukum dan HAM Natalius Pigai, mengambil langkah tegas dengan melarang pengibaran bendera One Piece. Dalam konferensi pers awal Agustus lalu, Pigai menegaskan bahwa penggunaan simbol bajak laut internasional dalam konteks perayaan kenegaraan merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan norma hukum maupun aturan internasional.

“Bendera negara harus dihormati. Penggunaan simbol bajak laut internasional dalam konteks upacara kemerdekaan tidak sesuai aturan dan dapat menimbulkan tafsir yang salah. Kita tidak bisa membiarkan simbol non-negara mengaburkan makna kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata,” ujar Pigai.

Larangan ini menimbulkan perdebatan di masyarakat. Sebagian mendukung sikap tegas pemerintah, menyebut bahwa momentum kemerdekaan harus dijaga kesakralannya. Namun, tidak sedikit pula yang menganggap larangan tersebut berlebihan. Bagi banyak anak muda, simbol bajak laut One Piece bukan sekadar bendera, melainkan representasi perjuangan melawan ketidakadilan dan kebebasan menentang tirani.

Komnas HAM Pilih Pendekatan Berbeda

Di tengah kontroversi itu, Komnas HAM mengambil langkah yang tidak terduga. Alih-alih mengutuk fenomena ini, lembaga tersebut justru memanfaatkannya sebagai sarana edukasi Hak Asasi Manusia (HAM) kepada publik. Dalam pernyataan resmi yang dirilis belum lama ini, Komnas HAM menyebut bahwa cerita dan tokoh dalam One Piece bisa menjadi jembatan efektif untuk mengenalkan isu-isu HAM kepada generasi muda.

“Tokoh dan cerita dalam One Piece sarat nilai kemanusiaan. Dari isu perbudakan, diskriminasi rasial, hingga hak atas kebenaran sejarah, semua ada di sana. Ini pendekatan kreatif untuk mengajak anak muda memahami HAM tanpa kesan menggurui,” ujar pernyataan tersebut.

Langkah ini didasarkan pada pengamatan bahwa budaya populer, khususnya anime dan manga, memiliki pengaruh besar terhadap cara generasi muda melihat dunia. One Piece, salah satu manga dan anime terpopuler di dunia, dikenal karena alur ceritanya yang penuh kritik sosial dan politik. Komnas HAM menilai, mengaitkan isu-isu nyata dengan narasi populer bisa membuka ruang diskusi yang lebih inklusif.

Nilai HAM dalam One Piece

Beberapa arc dalam One Piece disebut sangat relevan dengan isu HAM kontemporer. Arlong Park Arc, misalnya, menyoroti diskriminasi rasial di mana manusia ikan diperlakukan sebagai makhluk kelas dua. Sabaody Archipelago Arc membahas isu perbudakan dan ketimpangan sosial yang ekstrem, sementara Ohara Arc mengangkat persoalan manipulasi sejarah dan pembungkaman informasi oleh penguasa. Berikut unggahan lengkap dari Komnas HAM:

Arlong Park Arc – Diskriminasi Rasial dan Penindasan

Arlong percaya rasnya (manusia ikan) lebih unggul dari manusia biasa, dan menindas desa tempat Nami (Crew Topi Jerami) tinggal. Nami dan desanya ditindas oleh manusia ikan, Arlong, yang percaya bahwa rasnya lebih unggul dari manusia. Nami dipaksa menjadi budak ekonomi demi membebaskan desanya.

Nilai HAM: Melanggar prinsip non-diskriminasi (Pasal 2 UDHR, Pasal 3, Pasal 17, Pasal 26 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM) untuk hidup bebas dan bermartabat.

Fishman Island Arc – Rekonsiliasi dan Luka Sejarah

Bangsa manusia ikan menyimpan trauma mendalam karena sejarah perbudakan mereka oleh manusia. Ini menyebabkan konflik identitas, kebencian lintas generasi, dan trauma karena masa lalu perbudakan mereka. Arc ini menunjukkan betapa susahnya membangun perdamaian ketika luka lama belum sembuh.

Nilai HAM: Pentingnya keadilan transisional & pengakuan sejarah (ICERD – Konvensi Internasional Anti Diskriminasi Rasial) serta Pasal 17 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Ohara & Nico Robin – Manipulasi Sejarah & Hak atas Kebenaran

Pulau Ohara dihancurkan karena menyimpan kebenaran sejarah. Robin menjadi satu-satunya penyintas, lalu diburu seumur hidup. Pemerintah Dunia secara sistematis menghapus sejarah, menghancurkan sumber informasi, dan mengendalikan narasi sejarah demi mempertahankan kekuasaan mereka.

Nilai HAM: Pelanggaran hak atas informasi, hak atas kebebasan berpikir, dan hak atas kebenaran sejarah. Relevan dengan Pasal 14 UU HAM, Pasal 19 UDHR, dan prinsip Right to the Truth dalam HAM internasional.

Enies Lobby Arc – Hak atas Proses Hukum yang Adil

Robin kembali jadi sorotan karena Pemerintah Dunia ingin menghilangkannya secara hukum. Di sinilah Luffy dan kru Topi Jerami menantang sistem yang menyalahgunakan hukum untuk kepentingan kekuasaan.

Nilai HAM: Melanggar hak atas pengadilan yang adil (Pasal 10 UDHR, Pasal 4 Ayat 2 UU HAM), dan menunjukkan bagaimana sistem hukum bisa jadi alat represi jika tak dijalankan dengan prinsip keadilan.

Sabaody Archipelago Arc – Perbudakan dan Ketimpangan Sosial Ekstrem

Ras manusia, manusia ikan, hingga raksasa diperjualbelikan secara terang-terangan. Tenryuubito sebagai elite dunia memperlakukan siapa saja di luar golongan mereka sebagai budak.

Nilai HAM: Melanggar Pasal 4 UDHR dan Pasal 20 UU HAM tentang larangan perbudakan. Juga menyinggung isu feodalisme, impunitas, dan ketimpangan kekuasaan yang akut.

Dressrosa Arc – Kontrol Sosial dan Memori Publik

Doflamingo mengontrol seluruh negara dengan menggunakan kekuatan manipulatif untuk menghapus memori kolektif warga. Penduduk dipaksa menerima realitas palsu dan tidak menyadari ketidakadilan yang terjadi.

Nilai HAM: Pelanggaran terhadap hak atas kebenaran, hak untuk mengetahui, dan hak berpolitik (Pasal 14 UU HAM).

Alabasta Arc – Eksploitasi Sumber Daya Alam dan Fitnah Politik

Di Kerajaan Alabasta, Crocodile memanfaatkan organisasi kriminal Baroque Works untuk menciptakan kekacauan dan kekeringan buatan. Ia menyabotase sumber air, menyebar propaganda, dan memfitnah keluarga kerajaan agar rakyat memberontak. Tujuannya adalah merebut kekuasaan dengan cara licik.

Nilai HAM: Pelanggaran hak atas sumber daya alam, hak atas informasi yang benar, serta hak untuk menentukan pemerintahan secara demokratis. Relevan dengan ICESCR dan Pasal 9 UU HAM terkait hak atas lingkungan hidup yang sehat.

Wano Arc – Tirani, Isolasi, & Perlawanan Rakyat

Wano ditutup total dari dunia luar, dan rakyatnya hidup dalam ketakutan di bawah rezim Orochi dan Kaido. Pembungkaman media, eksekusi terhadap penentang, dan rusaknya lingkungan hidup jadi isu utama.

Nilai HAM: Meliputi hak atas kebebasan politik, kebebasan berekspresi, dan hak atas lingkungan yang bersih (Pasal 9, Pasal 14, Pasal 23 UU HAM).

Budaya Populer dan Nasionalisme Baru

Fenomena bendera One Piece jelang kemerdekaan ini mencerminkan perubahan cara generasi muda memaknai nasionalisme. Cerita bajak laut dalam One Piece justru dimaknai sebagai simbol perlawanan terhadap tirani, penindasan, dan ketidakadilan – nilai yang sejalan dengan semangat kemerdekaan.

Generasi muda hari ini tidak hanya merayakan kemerdekaan dengan seremonial. Mereka mencari simbol yang relevan dengan perasaan mereka terhadap dunia. One Piece menghadirkan cerita tentang kebebasan, solidaritas, dan melawan penindasan. Itu selaras dengan esensi kemerdekaan. Namun tetap, tidak boleh sampai menyingkirkan simbol-simbol resmi negara yang punya nilai sejarah.

Momentum untuk Refleksi

Fenomena ini, pada akhirnya, menjadi cermin dinamika hubungan antara negara, masyarakat, dan budaya populer. Larangan pemerintah, sikap lunak Komnas HAM, serta respons kreatif masyarakat menunjukkan bahwa makna kemerdekaan terus berkembang. Di satu sisi, negara berupaya menjaga kesakralan simbol kenegaraan. Di sisi lain, masyarakat – terutama generasi muda – menginginkan ruang berekspresi yang lebih luas, bahkan dalam momen nasional sekalipun.

Komnas HAM tampaknya memilih untuk tidak memandang fenomena ini sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang. Dengan menjadikan One Piece sebagai media belajar HAM, lembaga ini berharap dapat mendekatkan nilai-nilai kemanusiaan kepada publik.

Dan mungkin, di tengah hiruk pikuk perdebatan soal bendera bajak laut, terselip pesan penting: bahwa kemerdekaan sejati bukan sekadar soal simbol, melainkan tentang bagaimana nilai-nilai kemanusiaan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. (gis)

Bagikan:

Pos terkait