Serikat Pekerja Kampus ‘Muak’ Melihat Forum Rektor Terus Jadi Sandera Politik dan ‘Menjilat’ Rezim

Ilustrasi: Forum Rektor Indonesia menyatakan dukungan penuhnya pada kebijakan prioritas Presiden Prabowo. (IST)

Jakarta – Serikat Pekerja Kampus (SPK) menilai para rektor se-Indonesia sudah seperti sapi yang dicucuk hidungnya oleh penguasa. Membiarkan dirinya ‘disandera’ dan menjadi pendukung setia, demi meraih keuntungan pribadi. Akibatnya, perguruan tinggi nyaris kehilangan fungsi sebagai pihak netral yang menguji kebijakan pemerintah secara kritis.

SPK mengeluarkan pernyataan sikap keras terhadap Forum Rektor Indonesia dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia yang baru saja menyatakan dukungan penuh terhadap program prioritas Presiden Prabowo Subianto.

Bacaan Lainnya

SPK menilai, langkah tersebut memperlihatkan betapa kampus saat ini semakin kehilangan independensi, bahkan berubah menjadi “stempel kekuasaan” yang tunduk pada kepentingan politik rezim.

Kritik Tajam: Kampus Jadi Alat Kekuasaan

Dalam pernyataannya, SPK menegaskan bahwa perguruan tinggi seharusnya menjadi pusat produksi ilmu pengetahuan dan ruang kritis bagi rakyat. Namun, faktanya kini kampus justru diperalat untuk melegitimasi berbagai kebijakan pemerintah.

“Kampus telah dipaksa menjadi wastafel kekuasaan, yang ditugaskan mencuci dan mengaburkan dosa-dosa penguasa secara brutal,” tegas Ketua SPK, Dia Al Uyun dalam pernyataan tertulisnya, baru-baru ini.

Pemilihan Rektor Dinilai Sarat Intervensi Politik

SPK juga menyoroti aturan pemilihan rektor yang dinilai tidak adil. Sesuai Permenristekdikti Nomor 21 Tahun 2018, Menteri memiliki 35% hak suara dalam pemilihan rektor. Sistem ini, menurut SPK, menjadikan rektor sebagai sandera politik karena harus “membayar” dukungan dengan kepatuhan penuh kepada pemerintah.

“Dengan jaring utang-piutang politik semacam ini, rektor lebih sibuk menjaga relasi dengan rezim ketimbang memperjuangkan kepentingan sivitas akademika,” Dia Al Uyun geram.

Godaan Jabatan Basah untuk Akademisi

Selain intervensi politik, SPK mengungkap adanya praktik rangkap jabatan yang kerap ditawarkan kepada akademisi, mulai dari kursi staf ahli, pimpinan BUMN, hingga posisi strategis di kementerian. Pola ini dinilai sebagai cara kekuasaan menjinakkan intelektual kampus dengan imbalan jabatan menggiurkan.

“Kekuasaan membunuh akal sehat para intelektual dengan uang dan pragmatisme, hingga premanisme pun tumbuh di lingkungan pendidikan,” tambahnya.

Empat Tuntutan SPK

Melihat situasi yang makin tak terkendali, SPK mengeluarkan 4 sikap tegas dan keras, sebagai berikut:

Mengajak Forum Rektor Indonesia dan Majelis Rektor PTN untuk kembali pada fungsi akademik dan berhenti menjadi stempel kekuasaan.

Menolak kampus dijadikan alat legitimasi politik serta mencuci dosa-dosa kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.

Mendorong kampus tetap kritis dan berperan sebagai alat kontrol sosial terhadap rezim.

Mengajak mahasiswa, dosen, dan pekerja kampus menolak normalisasi praktik menjilat kekuasaan.

Kampus Harus Kembali Independen

SPK menegaskan, independensi kampus harus dijaga agar tetap menjadi benteng terakhir akal sehat bangsa. Tanpa itu, perguruan tinggi hanya akan menjadi alat politik yang kehilangan daya kritisnya.

“Jika dibiarkan, kampus hanya akan melahirkan generasi yang patuh tanpa keberanian berpikir bebas,” pungkas Dia Al Uyun. (gis)

Bagikan:

Pos terkait