PASER – Tepat setahun setelah tragedi kecelakaan truk batubara yang menewaskan Pendeta Pronika di Dusun Muara Kate, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, polemik hukum masih terus berlanjut. Kali ini, Koalisi Masyarakat untuk Perjuangan Masyarakat Muara Kate yang terdiri dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim dan LBH Samarinda, mengajukan surat keberatan terhadap perpanjangan penahanan Misran Toni kepada Ketua Pengadilan Negeri Tanah Grogot pada Jumat, 24 Oktober 2025.
Misran Toni, warga Muara Kate yang dikenal aktif menolak aktivitas hauling batubara PT Mantimin Coal Mining (MCM) di jalan umum, telah ditahan sejak 17 Juli 2025. Ia ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan kekerasan dan pembunuhan berencana terkait peristiwa 15 November 2024 di Dusun Muara Kate, yang menyebabkan dua masyarakat adat setempat menjadi korban.
Koalisi Masyarakat untuk Perjuangan Masyarakat Muara Kate menilai proses penetapan tersangka dan perpanjangan masa penahanan terhadap Misran Toni tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan sarat kejanggalan. Hingga kini, motif utama perkara ini belum ditemukan, sementara dua kali perpanjangan masa penahanan telah dilakukan oleh Polres Paser, yaitu pada 18 September–13 Oktober dan 13 Oktober–12 November 2025.
Lebih ironis lagi, keluarga Misran baru menerima surat perpanjangan penahanan pada 16 Oktober 2025, padahal masa perpanjangan pertama sudah berakhir tiga hari sebelumnya.
“Keterlambatan ini memperlihatkan adanya ketidaktransparanan dalam proses hukum,” tulis Koalisi dalam rilis tertulisnya, Selasa.
Tudingan Kriminalisasi Pejuang Lingkungan
Koalisi menyebut kasus ini sebagai bentuk nyata kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup. Mereka menegaskan bahwa Misran Toni selama ini bersikap kooperatif, selalu hadir memenuhi panggilan penyidik, serta tidak memiliki potensi melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.
Seluruh barang bukti, termasuk satu unit telepon genggam, parang, mandau, dan pusaka, telah diamankan oleh penyidik. Oleh karena itu, alasan subjektif untuk memperpanjang penahanan dinilai tidak relevan dan tidak memenuhi unsur Pasal 21 ayat (1) KUHAP.
“Menahan seseorang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sama artinya dengan mengabaikan prinsip hak asasi manusia,” tegas Koalisi.
Desakan ke Pengadilan dan Aparat Penegak Hukum
Mengacu pada Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) Pasal 9 Ayat (3), Koalisi menilai aparat penegak hukum telah melanggar prinsip dasar peradilan yang wajar. Pasal tersebut menegaskan bahwa setiap orang yang ditahan karena tuduhan pidana harus segera dihadapkan ke pengadilan dan berhak diadili dalam waktu yang wajar atau dibebaskan.
Koalisi Masyarakat untuk Perjuangan Masyarakat Muara Kate meminta agar Pengadilan Negeri Tanah Grogot menolak permohonan perpanjangan penahanan Misran Toni dan memulihkan hak-haknya sebagai warga negara.
Konteks Tragedi Muara Kate
Tragedi di Muara Kate terjadi pada 26 Oktober 2024, ketika sebuah truk batubara milik PT Mantimin Coal Mining (MCM) menabrak dan menewaskan seorang pendeta bernama Pronika. Kecelakaan itu memicu kemarahan warga karena aktivitas hauling batubara tersebut dilakukan di jalan publik, bukan jalur khusus tambang.
Sejak peristiwa itu, warga Muara Kate dan Batu Kajang terus melakukan protes dan menolak kegiatan hauling batubara yang dianggap melanggar hukum, merusak lingkungan, serta mengancam keselamatan masyarakat.
Tuntutan Akhir dari Koalisi
Koalisi mendesak Polda Kaltim dan Polres Paser menghentikan kriminalisasi terhadap Misran Toni, serta mengembalikan marwah penegakan hukum yang berkeadilan.
Mereka juga meminta kejaksaan bersikap profesional dan tidak menjadikan hukum sebagai alat untuk membungkam perjuangan rakyat.
“Menahan Misran Toni berarti menahan suara rakyat yang menuntut keselamatan dan keadilan ekologis. Keadilan harus berpihak kepada mereka yang membela kehidupan, bukan kepada kepentingan industri tambang,” tutup pernyataan Koalisi. (gis)








