Petani Samboja Tuntut Ganti Rugi Tanaman Rusak, DPRD Kukar Fasilitasi Mediasi dengan PT Mil/Singlurus

Suasana RDP di DPRD Kukar, Senin 13 Oktober 2025. (Media Etam)

TENGGARONG – Persoalan lahan dan tanaman warga di Kelurahan Handil Baru Muara serta Sanipah, Kecamatan Samboja, kembali mencuat dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar Komisi I DPRD Kutai Kartanegara (Kukar), Senin (13/10/2025). Pertemuan ini menghadirkan pihak perusahaan tambang PT MIL/Singlurus serta perwakilan kelompok tani yang terdampak.

Rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi I DPRD Kukar, Wandi, turut dihadiri anggota DPRD lainnya, seperti Muhammad Hidayat, Desman Minang Endianto, dan Mohammad Jamhari. Agenda kali ini merupakan tindak lanjut dari aduan masyarakat terkait dugaan perusakan lahan pertanian oleh aktivitas tambang sejak akhir 2023 lalu.

Bacaan Lainnya

Salah satu perwakilan petani, Sugiani, mengungkapkan bahwa sekitar 54 kepala keluarga telah menggarap lahan seluas lebih dari 10 hektare sejak 2016. Mereka menanam berbagai jenis tanaman seperti sawit, buah-buahan, sayuran, pisang, dan singkong. Namun, lahan tersebut dirusak oleh kegiatan tambang milik PT MIL/Singlurus.

“Perusahaan masuk ke kebun kami pada November 2023 dan merusak tanaman. Kami sudah melapor ke Polsek Samboja, tapi tidak ditanggapi karena kami tidak punya legalitas lahan. Kami hanya punya bukti tanam sejak 2016,” jelas Sugiani.

Ia menambahkan, setelah mendapat pendampingan dari salah satu ormas, pihaknya sempat menghentikan aktivitas alat berat di lapangan, namun tak lama kemudian kegiatan tambang kembali berjalan.

“Kami hanya minta ganti rugi tanaman kami, karena itu sumber hidup kami,” ujarnya.

Menjadi Polemik karena Aspek Legalitas

Sementara itu, Wandi menjelaskan persoalan ini sebenarnya sudah lama bergulir dan melibatkan beberapa komisi DPRD sebelumnya. Ia menyebut permasalahan muncul karena tumpang tindih klaim antara kelompok tani, pihak perusahaan, dan individu yang memiliki legalitas lahan.

“Perusahaan dianggap tidak bersalah karena bekerja berdasarkan legalitas dari pemilik sah lahan, sementara kelompok tani tidak memiliki dasar hukum kepemilikan. Mereka mengklaim lahan itu dari Kesultanan, tapi tanpa dokumen resmi,” terangnya.

Komisi I memberi waktu satu minggu kepada semua pihak untuk berkomunikasi dan mencari solusi bersama.

“Kalau dalam waktu seminggu belum ada kesepakatan, kami akan panggil kembali dalam RDP berikutnya,” tegasnya.

Dari hasil pembahasan, diketahui luas lahan yang disengketakan mencapai sekitar 8 hingga 10 hektare.

Penulis: Nur Fadillah Indah/ mediaetam.com

Bagikan:

Pos terkait