Kalimantan Timur sampai saat ini masih menggantungkan pembiayaannya pembangunannya dari sektor pertambangan. Selain minyak dan gas bumi tentu saja tambang batubara masih menjadi primadona, dengan alasan meningkatkan pendapatan daerah, menyerap tenaga kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Koordinator Pokja 30 Buyung Marajo menilai, selain persoalan tatakelola tambang batu bara yang semrawut tentu saja masih meninggal persoalan yang lebih lagi, setelah pertambangan itu ditinggalkan, selesai atau sudah habis depositnya.
“Selama ini kita selalu bisa menghitung pendapatan yang diterima oleh negara atau daerah dari sektor ini tetapi kita tidak pernah menghitung kerugian yang dialami oleh lingkungan, anggaran daerah dan negara untuk perbaikan fasilitas publik, kerugian sosial, budaya, adat istiadat serta kerugian yang berakibat jangka panjang yang nilainya melebihi dari pendapatan yang diterima oleh negara dan daerah,” terangnya dalam diskusi di Jakarta pada 19 Juni 2024.
Dia menambahkan, masyarakat lingkar tambang tentu saja adalah penerima dampak dari aktivitas ekstraktif ini. Selain mereka tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentu saja mereka menjadi kelompok rentan baru yang tercipta dengan sengaja setalah industri ini hengkang dari wilayahnya.
Ganti rugi, relokasi dan kemitraan selalu ditawarkan kepada masyarakat, sebagai solusi jika terjadi masalah saat konflik lahan, pencemaran dan kerusakan lingkungan.
“Celakanya lagi pemerintah pusat dan daerah selalu memposisikan dirinya sebagai pihak yang netral dan menjadi perpanjangan tangan korporasi untuk mengarahkan masyarakat terdampak untuk sepakati dari 3 resolusi yang ditawarkan tadi, setelah 3 tawaran itu menjadi kebuntuan yang paling pamungkasnya agar masyarakat menempuh jalur hukum dan peradilan. Inilah yang menjadi momok utama pada daerah yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah. Ini adalah kutukan,” pungkasnya. (red)