Potret Tambang Batu Bara dan Smelter Nikel di Sangasanga, Perempuan Terkucilkan dari Industri di Halaman Rumah

Potret bekas pertambangan batu bara dengan latar belakang kepulan asap dari Smelter Nikel di samping jalan menuju ke Kelurahan Pendingin, Kecamatan Sangasanga. Difoto pada Desember 2024 (foto: Nofiyatul Chalimah/Mediaetam.com)
Potret bekas pertambangan batu bara dengan latar belakang kepulan asap dari Smelter Nikel di samping jalan menuju ke Kelurahan Pendingin, Kecamatan Sangasanga. Difoto pada Desember 2024 (foto: Nofiyatul Chalimah/Mediaetam.com)

Hanya sepelemparan batu dari pertambangan dan industri hilirisasi, perempuan merasakan dampak sosial dan lingkungan berkali lipat. Kesusahan air, banjir, hingga konflik sosial dan sebagainya. Namun sayangnya, perempuan masih terkecualikan dari industri ini.

Nofiyatul Chalimah  – Sangasanga, Kutai Kartanegara

Bacaan Lainnya

Suhartini kesal. Banjir memenuhi lingkungannya di Kelurahan Jawa, Sangasanga, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Warga tahu apa sebabnya. Tetapi, tak berani berbuat banyak. Sementara, tiap banjir, yang bakal lebih pusing tujuh keliling itu adalah para ibu seperti dia dan kawan-kawannya. Harus mencuci perabotan, dan bakal banyak perabotan rusak. Mereka pun harus keluar tenaga dan uang lebih banyak karena banjir.

Puncaknya 2021, perempuan yang akrab disapa Bu Ndari ini bersama dua orang perempuan temannya nekat menutup Settling pond dari sebuah tambang batu bara.

“Waktu itu saya sama teman satu yang putar, terus satunya videokan,” cerita Ndari kepada Mediaetam.com.

Suhartini, perempuan yang berlawan dari Sangasanga (Foto: Nofiyatul Chalimah/mediaetam.com)
Suhartini, perempuan yang berlawan dari Sangasanga (Foto: Nofiyatul Chalimah/mediaetam.com)

 

Dari situ, Ndari mulai berani ikut aktif kembali menyuarakan keresahannya soal pertambangan batu bara di kampungnya. Dia mengakui, pertambangan memang sebagian besar memberi peluang kerja ke warga di Kecamatan Sangasanga. Hanya saja, kadang dampak kerusakannya ternyata juga terasa. Apalagi seperti petani perempuan seperti dia.

Protes pada 2021 sebenarnya bukan yang pertama. Dahulu, awal-awal tambang masuk, dia pernah turut aksi protes soal blasting tambang yang menggetarkan kampungnya. Namun, saat itu dia mendengar fotonya terpampang dan disebut provokator. Hal ini sempat membuatnya menarik diri dahulu.

“Padahal, saya ikut itu tidak sengaja. Waktu itu diajak saja protes-protes demo,” sambungnya.

Ndari bercerita dia adalah perempuan kelahiran Sangasanga, hidup dan besar di kecamatan ini. Dia dibesarkan oleh ayah petani dan tumbuh menjadi seorang petani juga. Puluhan tahun hidup, dia mengingat sekitar 2007 atau 2008, tambang batu bara masuk ke kecamatannya.

“Pertama masuk biasa saja. Enggak begitu merespons. Tetapi kok pertambangan terus makin dekat sama kebun bapak di Kampung Jawa (Kelurahan Jawa, Kecamatan Sangasanga, red),” kisahnya.

Hingga kebun banyak yang dibeli pertambangan dan kebun milik keluarganya mau tidak mau juga dijual ke tambang. Sebab sudah terkepung. Kebun keluarganya pun, jadi kebun terakhir di wilayah itu yang dibeli tambang batu bara pada 2010.

“Ada 10 hektare. Isinya ada pohon karet, salak, nanas, rambutan. Dulu, kopi paling banyak,” cerita Ndari.

Uang yang tersisa pun dibelikan kebun di wilayah lain yang lebih jauh dari rumahnya. Seperti di wilayah Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara yang harus ditempuh hampir tiga jam. Sedangkan, yang paling dekat ada di Kelurahan Pendingin, Kecamatan Sangasanga, yang harus ditempuh dengan motor lebih dari setengah jam dari rumahnya. Itu pun, kebunnya hanya bisa ditanam sawit. Sebab, tanahnya rawan banjir.

“Sudah pernah coba tanam kopi dan pohon petai. Tapi mati karena kena banjir. Yang tahan, hanya sawit. Padahal, kalau dulu dekat rumah dan tanamnya bisa macam-macam,” kata dia.

 

Lanskap Sangasanga pada Tahun 2000 (Sumber: Google Earth)
Lanskap Sangasanga pada Tahun 2000 (Sumber: Google Earth)

 

Lanskap Sangasanga pada Tahun 2020 (Sumber: Google Earth)
Lanskap Sangasanga pada Tahun 2020 (Sumber: Google Earth)

Sangasanga sekarang, kata Ndari, berbeda sekali dengan dahulu saat dia kecil. Meskipun kecamatan ini telah berkembang sejak zaman Belanda karena menjadi salah satu wilayah pertambangan minyak, namun warga Sangasanga lebih banyak yang bekerja sebagai petani.

“Dulu, yang paling andalan dari tempat saya itu kopi. Saya dulu kan ikut jualkan kopi itu dari sini (Sangasanga) ke Pasar Segiri (pasar di Kota Samarinda),” kenangnya.

Hingga era 2000an dan pertambangan batu bara masuk ke wilayahnya. Ndari pun sempat ditawari kerja di pertambangan batu bara. Tetapi, dia memilih kerja jadi petani dan berdagang saja. Dia sempat diiming-imingi kerja jadi sekretaris, tapi Ndari enggan.

“Saya cuma sekolah SD. Mana bisa saya kerja begitu,” sambung dia.

Kini, bertani dan berdagang masih jadi jalan yang dia pilih. Ndari yakin, jalan ini masih jadi sumber nafkahnya. Dia pun bersyukur, keluarganya juga terus mendukung dirinya.

Sangasanga Kota Juang Jadi Kota Tambang

Bagi Kalimantan Timur, Kecamatan Sangasanga tempat Ndari hidup, menjadi salah satu wilayah yang bersejarah. Tiap 27 Januari, selalu diperingati peristiwa Merah Putih Sangasanga. Sebuah peringatan ketika pejuang Sangasanga mempertahankan kemerdekaan pada 27 Januari 1947 yang ditandai dengan perobekan bendera Merah Putih Biru milik Belanda menjadi merah putih.

Salah satu ikon di Sangasanga. Difoto pada Desember 2024 (Foto: Nofiyatul Chalimah/Mediaetam.com)
Salah satu ikon di Sangasanga. Difoto pada Desember 2024 (Foto: Nofiyatul Chalimah/Mediaetam.com)

Sangasanga begitu diminati penjajah. Pasalnya, wilayah itu sejak dahulu kaya akan minyak dan batu bara. Belanda hingga Jepang saat itu sudah menikmati. Kini, para pengusaha tambang batu bara yang kebanyakan tak hidup di Sangasanga, yang menikmati kekayaan alam wilayah ini.

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Mareta Sari pun memaparkan, bagaimana Sangasanga telah berkubang nestapa. Lebih dari setengah wilayahnya adalah pertambangan.  Bencana ekologis, tak bisa dielakkan. Isu air pun jadi salah satu sumber masalah.

Perempuan yang akrab disapa Eta ini, memaparkan Jatam Kaltim telah melakukan penelitian soal dampak pertambangan batu bara di Sangasanga dan dipublikasikan pada 2022. Dari penelitian itu, mereka juga menemukan bagaimana perempuan banyak dirugikan. Namun, ruang untuk perempuan bersuara, tak banyak ada. Ketika mereka melakukan protes, selain dibayang-bayangi intimidasi seperti laki-laki, perempuan juga bisa mendapat stigma. Salah satunya seperti bu Ndari yang sempat disebut sebagai provokator.

“Perempuan sulit melakukan protes. Maka sejak awal, lebih banyak laki-laki yang bersuara. Tapi, bagaimana kalau dia janda, dan tidak ada orang laki-laki di rumah?” sebut perempuan berkacamata itu.

Dinamisator Jatam Kaltim Mareta Sari (foto: Nofiyatul Chalimah/Mediaetam.com)
Dinamisator Jatam Kaltim Mareta Sari (foto: Nofiyatul Chalimah/Mediaetam.com)

Ruang-ruang dialog banyak dipercayakan kepada laki-laki. Sementara, nestapa akibat pertambangan banyak dirasakan perempuan. Misalnya, akibat pertambangan batu bara, air sumur banyak berkurang, sementara ada waktu ketika menstruasi, perempuan butuh akses air dan sanitasi layak.

“Selain sumur-sumur air warga  yang sudah mengering, tim Jatam Kaltim menemukan kandungan zat asam melalui pengecekan kualitas dan kandungan air menggunakan alat pH Tester di beberapa sumur milik warga di Kelurahan Jawa,” paparnya.

Dari tiga sampel yang mereka ambil saat itu, derajat keasaman di sumur-sumur warga mencapai 4,35 hingga 4,78. Hal ini melampaui baku mutu yang idealnya pada kisaran 6,5-8,5, seperti acuan pada Peraturan Menteri Kesehatan No 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum dan Peraturan Menteri Kesehatan No 32 Tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan Air Untuk Keperluan Higiene Sanitasi, Kolam Renang, Solus Per Aqua, dan Pemandian Umum.

Sementara, air sumur itu sudah digunakan masyarakat untuk keperluan memasak, mencuci, dan sebagian lagi digunakan untuk bahan baku air galon yang biasanya digunakan untuk air minum. Padahal, dahulu tak perlu keluar biaya untuk air. Sumur mereka, memberi air yang melimpah. Namun kini, masyarakat harus mengeluarkan uang puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah untuk membayar tagihan PDAM yang salah satu sumber airnya adalah Sungai Sangasanga. Sedangkan, jika sumur bor tak mengering, mereka tetap mengeluarkan uang untuk membeli obat air. Sebab, kualitas air menurun.

“Bahkan, kami menemukan ada keluarga yang membuat lubang untuk menampung air hujan, untuk sumber air mandi bayi,” cerita Eta.

Belum lagi dampak banjir. Termasuk pengeluaran uang puluhan juta rupiah untuk buat tanggul, agar air banjir tak masuk ke rumah.

Sedangkan, kesempatan perempuan Kutai Kartanegara untuk bekerja juga jomplang. Pada 2022, data Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Kutai Kartanegara mengoleksi ada 1.343 lowongan kerja tersedia. Namun, hanya 176 lowongan yang dibuka untuk perempuan.

Tak Menjanjikan Peluang Ekonomi Signifikan untuk Perempuan

Industri pertambangan atau hilirisasinya memang turut membuka kesempatan bagi pekerja dan pengusaha perempuan. Namun, tak semudah itu. Perempuan yang bekerja di industri ini akan dihadapkan pada tantangan. Peluang pun, tak seluas untuk kaum laki-laki.

Bagaimana perempuan di industri pertambangan pernah diteliti Zulfatun Mahmudah. Tahun 2018, Dia melakukan riset yang berjudul “Pekerja Perempuan di Tambang: Bentuk Negosiasi Kesetaraan Gender Dalam Dunia Kerja Maskulin.”

Dalam risetnya, Zulfatun yang masih aktif bekerja dalam industri pertambangan di Kalimantan Timur ini memaparkan selain dihubungkan dengan konsep gender, minimnya pekerja perempuan di tambang kadang dikaitkan dengan ketidakmampuan perempuan dalam melakukan negosiasi dengan lingkungan kerjanya yang notabene didominasi laki-laki.

Di sejumlah tambang, perempuan merupakan minoritas, karena umumnya pekerjaan tambang didominasi laki-laki. Bagi perempuan yang tidak mampu mengimbangi gaya kerja dan pola komunikasi yang cenderung sangat maskulin, mereka akan lebih memilih pekerjaan yang atmosfernya lebih cocok bagi perempuan.

Zulfatun Mahmudah yang melakukan riset “Pekerja Perempuan di Tambang: Bentuk Negosiasi Kesetaraan Gender Dalam Dunia Kerja Maskulin.” (Foto: Dokumen Pribadi)
Zulfatun Mahmudah yang melakukan riset “Pekerja Perempuan di Tambang: Bentuk Negosiasi Kesetaraan Gender Dalam Dunia Kerja Maskulin.” (Foto: Dokumen Pribadi)

Zulfatun pun mengutip Linda Babcock (2003) dalam bukunya Women Don’t Ask: Negotiation and the gender Divide. Di buku itu, Linda mengatakan bahwa kebanyakan perempuan hanya mengerjakan sesuatu dan tidak bertanya. Dalam buku tersebut digambarkan bahwa perempuan tidak mendapatkan banyak hal dalam hidupnya karena mereka tidak berpikir untuk meminta. Laki-laki meminta hal-hal yang mereka inginkan dan bernegosiasi atas keinginannya lebih sering dari pada perempuan dua hingga tiga kali lipat.

Namun, perempuan bisa mengatasi kecemasan mereka dan menemukan cara-cara efektif untuk bernegosiasi. Adanya pekerja perempuan di tambang sebagai operator alat berat menunjukkan bahwa perempuan mampu mengatasi kecemasan dan menemukan cara-cara yang efektif dalam bernegosiasi.

“Mereka bukanlah segelintir orang melainkan berjumlah ratusan. Di tambang batu bara PT Kaltim Prima Coal (KPC) misalnya, jumlah perempuan yang bekerja mengoperasikan alat berat mencapai 128 orang,” terang doktor Kajian Budaya dan Media di Universitas Gadjah Mada tersebut.

Para pekerja perempuan di tambang harus bisa bernegosiasi dengan berbagai hal agar bisa bertahan di tengah pekerjaan yang didominasi laki-laki. Selain didominasi laki-laki, karakteristik pekerjaan tambang juga sangat maskulin. Dilihat dari seragam yang dikenakan, pekerja tambang harus memakai sepatu safety yang cukup berat, dilengkapi rompi, helm dan celana jeans. Kendaraan yang harus dioperasikan juga berukuran sangat besar, yang tentu saja sangat tidak sesuai dengan badan perempuan. Jam kerja tambang juga berlaku shift yang mengharuskan karyawan baik laki-laki maupun perempuan bekerja siang dan malam. Jika giliran shift malam, tentu saja perempuan harus terjaga semalam suntuk di atas kendaraan yang dioperasikan.

Hasil riset tersebut diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul Menaklukkan Tambang; Potret Perempuan di Pertambangan. Dalam bukunya yang memuat hasil wawancara dengan perempuan operator tambang raksasa di Kutai Timur itu, Zulfatun juga memaparkan para perempuan pekerja tambang ini  mampu berperan ganda, sebagai pekerja sekaligus sebagai ibu rumah tangga. Peran ganda perempuan yang selama ini digaungkan sekaligus diperdebatkan, sudah dijalani dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Zulfatun juga menunjukkan bagaimana pengalaman para pekerja tambang perempuan yang dia wawancara, bagaimana mereka diremehkan dan digoda karena menjadi operator tambang perempuan. Namun, mereka melawan baik dengan cara fisik, verbal, ataupun menunjukkan prestasi.

Tetapi, tantangan perempuan dalam industri pertambangan tidak hanya bagi para pekerjanya. Tantangan juga diamini para pengusaha wanita. Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Kalimantan Timur Ernawaty Gafar memaparkan pengusaha wanita di provinsi ini tak banyak yang menyentuh industri pertambangan. Dia menyebut, mungkin hanya lima persen perempuan pengusaha yang benar-benar terjun ke industri pertambangan.

“Kalau kata saya, mereka yang benar-benar perkasa yang bisa bertahan di industri pertambangan,” kata perempuan yang menggeluti usaha konstruksi tersebut.

Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Kalimantan Timur Ernawaty Gafar (foto: Dokumen Pribadi)
Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Kalimantan Timur Ernawaty Gafar (foto: Dokumen Pribadi)

Pengusaha perempuan yang berkecimpung di industri batu bara biasanya kebanyakan berstatus pemilik perusahaan ataupun marketing batu bara. Erna pun satu dekade lalu pernah mencoba industri batu bara. Saat itu, dia sebagai pemilik, namun untuk urusan teknis usaha banyak dibantu suaminya. Sebab, banyak tantangan bagi perempuan jika berkecimpung di industri. Misal bagaimana di lapangan, hingga ketika harus melakukan negosiasi dengan kolega. Umumnya pengusaha atau pemain industri tambang adalah laki-laki dan banyak meminta pertemuan dilakukan pada malam hari. Hal ini pun menurutnya rentan bagi para perempuan.

Maka dari itu, alih-alih ke industri tambang, IWAPI banyak mengembangkan program ke industri lain untuk para perempuan. Misal pengembangan UMKM baik di industri makanan, jasa, dan sebagainya. Namun, anggota IWAPI juga tetap saling membantu jika mereka yang di industri pertambangan butuh bantuan.

“Misal mereka butuh buyer (pembeli), kalau kami ada kenalan ya kami bantu hubungkan juga,” jelasnya.

Tentu, dia pun berharap makin banyak kesempatan bagi perempuan di Kalimantan Timur bisa berkarya dan berdaya. Tidak harus di industri pertambangan, tetapi juga bisa di industri-industri lain yang potensial.

“Makanya kami sering buat pelatihan untuk perempuan dan juga coba bantu kalau ada pengusaha perempuan yang memiliki hambatan usahanya. Misal UMKM, kemarin ada masalah permodalan, kita coba bantu hubungkan dengan bank, agar mereka bisa dapat kredit murah dan sebagainya,” jelas Erna.

Sementara, industri di daerah ini terus bertumbuh. Wilayah ini begitu seksi. Tidak hanya karena kandungan batu baranya, Kalimantan Timur ternyata seksi juga bagi para pengusaha hilirisasi nikel. Ada dua smelter nikel di Kalimantan Timur yang ada di Balikpapan dan Kutai Kartanegara. Namun, yang sudah aktif beroperasi dan kapasitas produksinya besar ada di Kelurahan Pendingin, Kecamatan Sangasanga. Katanya, akan jadi peluang baru bagi masyarakat di sekitarnya.

Hilirisasi Nikel yang Sampai di Muara Sungai Mahakam

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyebut hilirisasi bukan sekadar meningkatkan nilai tambah komoditas dalam negeri, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan mempercepat pertumbuhan industri manufaktur berbasis sumber daya alam.

“Dengan hilirisasi, kita tidak hanya mengekspor bahan mentah, tetapi juga mengekspor produk bernilai tambah yang mampu memberikan manfaat lebih besar bagi ekonomi nasional,” tambahnya dalam keterangan ke awak media, setelah mendampingi Presiden Prabowo di New Delhi, pada Sabtu (25/1).

Pemerintahan sejak era Joko Widodo hingga kini Prabowo Subianto, menyebut smelter nikel adalah salah satu pilihan untuk memaksimalkan pendapatan pertambangan. Hilirisasi nikel yang digunakan untuk baterai, disebut bisa berkontribusi mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Kendaraan yang berbasis listrik dan energinya tersimpan di baterai disebut lebih ramah lingkungan. Maka dari itu, dengan alasan transisi energi dan menambah nilai ekonomi produk tambang, smelter nikel dibangun. Meskipun, realitasnya smelter nikel juga membutuhkan energi batu bara untuk pembakarannya.

Melansir dari laman situs Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu (DPMPTSP) Kaltim yang diunggah pada Januari 2022, inisiasi smelter nikel setidaknya sudah ada sejak 2021. Sebuah pertemuan membicarakan persiapan smelter nikel ini dilakukan pada 4 Desember 2021 di Grand Sahid Jaya Jakarta, oleh Gubernur Kaltim, Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN, Manajemen PT SLJ Global Tbk, beserta calon investor.

Dari pertemuan itu, salah satu poinnya adalah PT SLJ Global Tbk melalui anak usaha PT Nityasa Prima telah melakukan penandatanganan joint corporation dengan investor dari Tiongkok yaitu San Yai Tai Hoi Tong New Materials Co.Ltd. Kerja sama ini, untuk pembangunan smelter nikel di Kelurahan Pendingin. Juga disebutkan kebutuhan listrik 800 megavolt ampere (MVA) yang akan disuplai PLN.

Kini, meskipun belum ada tambang nikel di Benua Etam (sebutan provinsi Kalimantan Timur), smelter nikel pertama di Kaltim telah beroperasi sejak September 2023. Namanya PT Kalimantan Ferro Industry (KFI) atau lebih sering disebut Smelter Nikel Pendingin. Investasi perusahaan itu mencapai Rp 30 triliun, untuk membangun pabrik besar di sekitar muara Sungai Mahakam. Tak jauh dari jalur alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) II yang melewati Selat Makassar. Juga tak jauh dari pelabuhan-pelabuhan kecil yang membawa batu bara ke kapal raksasa untuk dibawa keluar Kalimantan Timur.

 

Cerita Perempuan di Sebelah Industri Hilirisasi Nikel

Ke smelter nikel KFI ini, perlu sekitar 15-20 menit berkendara dari pusat kecamatan Sangasanga, di Kelurahan Sangasanga Dalam. Saat menuju smelter nikel dari Kelurahan Sangasanga Dalam, siapapun yang lewat akan disuguhi pemandangan pertambangan batu bara di kanan kiri jalan. Lalu, akan terlihat asap putih mengepul dari sebelah kiri. Smelter nikel itu lah, sumber asapnya.

Bagi Kasihati, Eka Winarti, dan Yanti, keberadaan smelter nikel ini memang membawa perubahan di kampungnya. Namun, para ibu-ibu seperti mereka masih belum merasa dilibatkan oleh pihak smelter nikel. Sehingga, keriuhan pembangunan pabrik yang nilai investasinya disebut mencapai Rp30 triliun itu, belum benar-benar mereka rasakan.

“Masih biasa-biasa saja,” jawab para ibu kelahiran 1984 itu, ketika ditanya soal antusiasme keberadaan smelter nikel itu.

Kasihati, Yanti, dan Eka Winarti. Tiga perempuan yang jadi saksi kehidupan di Kelurahan Pendingin, sejak mereka kecil (Foto: Nofiyatul Chalimah/Mediaetam.com)
Kasihati, Yanti, dan Eka Winarti. Tiga perempuan yang jadi saksi kehidupan di Kelurahan Pendingin, sejak mereka kecil (Foto: Nofiyatul Chalimah/Mediaetam.com)

Mereka yang sejak kecil tinggal di Kelurahan Pendingin tak jauh dari lokasi smelter nikel itu pun mengisahkan, bagaimana kondisi kampungnya dahulu. Para penduduk di Kelurahan Pendingin kebanyakan mencari nafkah dengan berkebun dan hidup dari aneka pohon seperti Cempedak, nangka, kopi, nanas, juga dari padi dan singkong.

Ketika ditanya soal kesempatan kerja di dalam smelter nikel, para ibu ini justru banyak membahas kesempatan kerja bagi anak mereka. Kasihati pun menceritakan, tentang anak perempuannya yang menjadi operator produksi di dalam smelter nikel itu. Anak perempuannya, lulusan SMA lalu mendapat pelatihan dan berhasil menjadi operator.

“Kalau saya sih kemarin sempat kerja di dalam, tapi belum produksi yang satunya. Jadi kita di-stop dulu. Soalnya katanya nanti ada dua (perusahaan) yang megang di dalam situ. Kalau anak saya operator di produksi begitu. Kemarin itu kan namanya seorang ibu kan khawatir, cuma anaknya kan kukuh mau kerja. Yasudah, seorang ibu ya doakan yang terbaik saja,” kata Kasihati.

Kekhawatirannya bukan tanpa alasan. Sebab, di smelter nikel itu telah terjadi beberapa kali kecelakaan kerja yang memakan korban jiwa. Kasihati menanyakan anaknya lagi. Tapi sang anak tetap kukuh.

“Namanya nyawa, kalau sudah takdirnya, di jalan saja ya juga bisa terjadi,” kata Kasihati meniru ucapan sang anak.

Sementara itu, Eka Winarti yang anaknya bakal lulus SMA tahun ini, menyerahkan keputusan ke anaknya. Apakah ingin mencoba kerja di smelter nikel dekat rumahnya atau pekerjaan lainnya.

“Kalau orangtua inginnya kerja yang dekat. Tapi, keinginan anak kan beda-beda. Terserah mereka saja,” sambung dia.

Smelter Nikel di Kelurahan Pendingin, Kecamatan Sangasanga. Difoto pada Desember 2024 (foto: Nofiyatul Chalimah/Mediaetam.com)
Smelter Nikel di Kelurahan Pendingin, Kecamatan Sangasanga. Difoto pada Desember 2024 (foto: Nofiyatul Chalimah/Mediaetam.com)

Keberadaan smelter nikel yang juga banyak pekerja Tiongkoknya ini pun, turut membuat kampung mereka berubah. Dari yang dahulu sepi, sekarang jadi lebih ramai. Wajar saja, ada ribuan orang yang datang dan jadi pekerja di industri ini, misal pada awal dibuka 2023, ada 1.700an pekerja. Hal ini ditangkap Yanti. Alih-alih bekerja, dia pilih membuka warung.

“Dulu, satu jam saja, belum tentu ada yang lewat. Sekarang ya lumayan banyak,” kata Yanti.

Sekitar dua tahun dia membuka warung kecil. Selain warga Pendingin, pelanggannya banyak dari pekerja smelter nikel yang suntuk dan ingin sekadar nongkrong usai bekerja.

“Kadang mereka karaokean dan saya bukanya bisa sampai jam 1 malam, kalau masih ada orang,” sambung Yanti.

Namun, tak ada pekerja dari Tiongkok yang nongkrong. Sebab, para pekerja Tiongkok ini tidak diizinkan keluar tanpa kepentingan dari mes mereka. Hal ini imbas dari beberapa masalah yang timbul saat awal-awal smelter nikel berdiri.

“Sekarang pekerja China enggak dibolehin keluar ke kampung. Ada sih yang keluar satu atau dua yang ngekos di luar karena ada istrinya di luar. Kalau dulu ada banyak yang keluar. Mengganggu lah intinya. Dulu banyak yang ganggu istri orang atau bagaimana gitu, sekarang enggak boleh. Mereka dimarahi, bisa dipulangkan katanya,” kata Kasihati menyambung perbincangan.

Menurut mereka, kondisi saat ini jauh lebih baik dibandingkan awal-awal pembangunan smelter nikel pada 1-2 tahun lalu. Sebab, saat itu jalanan becek, berlumpur, bau limbah, dan banjir.

Namun, sekarang di wilayahnya sudah diperbaiki. Jalanan sudah dibeton, bau sudah tak muncul dan banjir tak menghampiri. Namun sayangnya, para ibu-ibu ini merasa belum banyak dilibatkan dan diberdayakan.

“Enggak ada pelatihan untuk ibu-ibu dari smelter nikel. Belum ada misal disuruh buat apa gitu nanti dijual ke perusahaan belum ada,” kata Kasihati.

Mengamini Kasihati, Eka Winarti pun turut berharap ada pelatihan. Ada beberapa potensi yang menurutnya bisa dilakukan para ibu rumah tangga yang tak memiliki keahlian di industri hilirisasi. Misal buat laundry, pengolahan hasil kebun, atau menjual hasil pertanian ke smelter nikel.

“Jual ke dalam apakah, biar ada kegiatan,” kata dia.

Mediaetam.com pun mengonfirmasi hal ini ke PT Kalimantan Ferro Industry. Dalam jawaban tertulisnya pada Sabtu, 11 Januari 2025, Owner Representative PT KFI Muhammad Ardhi mengklaim PT KFI tetap memberdayakan masyarakat sekitar untuk ikut andil dalam proses pengembangan dan produksi yang mereka lakukan, terutama Perempuan/Wanita yang tinggal di sekitar perusahaan untuk mengisi beberapa posisi sesuai kriteria, kemampuan serta pemahaman yang dimiliki.

PT KFI yang mengelola Smelter Nikel di Kelurahan Pendingin, Kecamatan Sangasanga. Difoto pada Desember 2024 (foto: Nofiyatul Chalimah/Mediaetam.com)
PT KFI yang mengelola Smelter Nikel di Kelurahan Pendingin, Kecamatan Sangasanga. Difoto pada Desember 2024 (foto: Nofiyatul Chalimah/Mediaetam.com)

Mereka juga menyebut, keamanan selalu menjadi prioritas utama dari perusahaan untuk menjaga para pekerja dari segala hal yang membahayakan.

“Yang telah kami lakukan adalah dengan cara menyediakan petugas keamanan di lokasi kerja untuk melindungi pekerja, khususnya pekerja perempuan, terutama saat bekerja pada malam hari. Perusahaan juga menyediakan fasilitas seperti toilet terpisah untuk mendukung keamanan tersebut. Demi kesetaraan pada karyawan perusahaan, kami mengimplementasikan kebijakan tegas terhadap diskriminasi dan pelecehan seksual serta menciptakan budaya kerja yang saling menghormati dan mendukung antara semua karyawan,” papar Ardhi.

Lanjutnya, ada tantangan untuk kedepannya. Seperti mengubah persepsi bahwa Smelter Nikel tidak semua pekerjanya adalah Laki-Laki, juga menyediakan pelatihan khusus untuk memastikan perempuan dapat memenuhi standar kompetensi. Namun perluasan program ini harus ditingkatkan.

Ardhi menyebut, pekerja perempuan di perusahaan sampai saat ini berjumlah 80 orang secara keseluruhan. Kedepannya pihaknya akan ada pelatihan khusus untuk pengembangan kompetensi pada pekerja perempuan baik dari softskill ataupun hardskill.

Mengenyam Pendidikan Lebih Singkat dari Laki-Laki 10 Tahun Lalu

Sayangnya, jalan memang tak pernah mulus bagi perempuan. Dari kesempatan mengenyam pendidikan, perempuan pun tak leluasa dibanding lelaki. Walhasil, ini akan berdampak pula pada akses perempuan terhadap pekerjaan formal.

Data BPS Kutai Kartanegara memaparkan, rata-rata lama sekolah (RLS) perempuan selalu lebih pendek dibandingkan laki-laki. Pada 2022, RLS laki-laki Kukar di angka 9,59 tahun. Sedangkan, perempuan hanya 8,81 tahun. Lalu, pada 2023 juga tak banyak berubah. Laki-laki 9,61 tahun, sementara perempuan hanya 8,82 tahun. Bahkan, rata-rata lama sekolah perempuan pada 2023 di Kukar ini, tak selama RLS laki-laki sepuluh tahun sebelumnya yang di angka 8,97 tahun.

Sedangkan, di Sangasanga pada 2023 ada 10.054 perempuan yang tercatat sebagai penduduk di lima kelurahan yaitu Pendingin, Jawa, Sangasanga Dalam, Sangasanga Muara, dan Sarijaya. Jumlah perempuan di Sangasanga, lebih sedikit dibanding laki-laki yang mencapai 10.583 orang.

Pelang arah ke Kelurahan Pendingin di Sangasanga (foto: Nofiyatul Chalimah/Mediaetam.com)
Pelang arah ke Kelurahan Pendingin di Sangasanga (foto: Nofiyatul Chalimah/Mediaetam.com)

Dalam Publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) Kutai Kartanegara pun dipaparkan, rasio jenis kelamin di Sangasanga secara keseluruhan yaitu 105. Angka ini dapat diartikan bahwa dalam setiap 100 penduduk perempuan, terdapat 105 penduduk laki-laki.

“Hal ini bisa dimaklumi dimana banyaknya pendatang yang kebanyakan adalah laki-laki, dikarenakan di sekitar Kecamatan Sanga Sanga terdapat perusahaan pertambangan (seperti, migas dan batu bara) yang biasanya lebih banyak menyerap tenaga kerja laki-laki.” (sumber: Kecamatan Sanga-sanga dalam angka 2024, BPS Kutai Kartanegara, Hal 19)

Kesempatan perempuan bekerja juga masih sedikit. Dari data Disnaker Kukar hanya ada 176 lowongan untuk perempuan dari total 1,3 ribu lowongan di wilayah itu. PT KFI juga mencatat 80 pekerja perempuan di antara ribuan pekerja di smelter nikel.

Hal ini menunjukkan bagaimana industri pertambangan dan hilirisasinya, memang tidak ramah perempuan. Sebabnya, kultur patriarkis. Hal itu diungkapkan Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman Sri Murlianti. Dia memaparkan, data BPS persentase perempuan di sektor pertambangan hanya ada 8,24 persen. Selebihnya adalah laki-laki.

Potret bekas pertambangan batu bara di samping jalan menuju ke Kelurahan Pendingin, Kecamatan Sangasanga. Difoto pada Desember 2024 (foto: Nofiyatul Chalimah/Mediaetam.com)
Potret bekas pertambangan batu bara di samping jalan menuju ke Kelurahan Pendingin, Kecamatan Sangasanga. Difoto pada Desember 2024 (foto: Nofiyatul Chalimah/Mediaetam.com)

“Sektor ini memang menyandang label sangat maskulin, sehingga di alam Indonesia yang masih sangat patriarkis, laki-lakilah yang menguasai sektor ini. Tentu saja ini sangat tidak sehat. Tidak ada alasan logis apapun yang membenarkan bahwa sektor pertambangan harus didominasi laki-laki, kultur patriarkis-lah yang mengafirmasi itu seakan-akan natural,” jelas Sri.

Dia melanjutkan, sebenarnya semua jenis pekerjaan di pertambangan tentu saja bisa dilakukan perempuan, jika menguasai teknologi dan kompetensi pendukung lainnya. Sayangnya, dari sejak di universitas pun prodi pertambangan juga masih didominasi laki-laki. Ini lagi-lagi terkait dengan kultur patriarkis, sebab sektor pertambangan masih dianggap sepenuhnya maskulin, erat dengan dunia laki-laki, kecuali mungkin pekerjaan-pekerjaan administrasi.

Selain itu, akses pendidikan, meski belum setara, Sri menyebut sudah semakin membaik.  Namun mungkin di dalam pemilihan jurusan/prodi, perempuan atau laki-laki masih belum lepas dari alam pikir patriarkis di mana prodi-prodi tertentu dianggap lekat dengan dunia laki-laki, dan prodi-prodi tertentu yang lain dianggap lebih cocok untuk perempuan.

“Pertambangan itu di banyak bagian belahan dunia masih dianggap sebagai kegiatan yang lebih banyak maskulinnya. Kecuali pekerjaan-pekerjaan administrasi atau katering. Ada sih beberapa perempuan menjadi operator alat berat atau posisi direksi. Namun jumlahnya sangat sedikit,” sambung dia.

Di sisi lain, pengarusutamaan gender terutama pada masyarakat lingkar tambangnya juga turut memengaruhi. Di mana keputusan-keputusan penting terkait aset keluarga seperti tanah, rumah dan pekarangan masih didominasi oleh keputusan para lelaki.

Dampak dari minimnya partisipasi perempuan ini, kerja-kerja perempuan menjadi berlipat-lipat lebih berat karena semua yang terkait dengan ruang hidup yang rusak dan kebutuhan hidup sehari-hari terutama yang terkait ranah domestik harus ditanggung perempuan. Laki-laki bisa membuat keputusan tanah ditukar dengan uang banyak. Awalnya, mungkin dianggap berkah.

“Namun setelah itu biaya yang harus ditanggung keluarga-keluarga. Apalagi jika uangnya tidak dikelola dengan baik, akan jauh melampaui sebelum-sebelumnya. Karena sumber air yang rusak, tanah yang tercemar, hilangnya sumber-sumber makanan protein dan sayur-sayuran yang gratis/murah itu ditanggung selamanya. Belum risiko penyakit-penyakit degeneratif yang mengintai,” jelasnya

Sri menegaskan, semua itu aspek yang diabaikan. Karena di dalam logika kapitalisme global, yang diagung-agungkan adalah hitung-hitungan devisa, uang yang dihasilkan dari batu bara. Namun nilai kerusakan ruang hidup, sumber-sumber kehidupan yang hilang, munculnya hama-hama tanaman yang baru, polusi dan ancaman penyakit-penyakit serius, tidak pernah dimasukkan di dalam hitung-hitungan devisa yang dihasilkan batubara.

“Jika semua itu masuk perhitungan untung rugi bisnis negara, pasti pertambangan tidak akan dilakukan semasif sekarang ini,” sambung Sri.

Dengan begitu, setidaknya ada perencanaan dan pengelolaan yang lebih baik, yang tidak menabrak ruang hidup rakyat dan menimbulkan dampak negatif berat yang harus ditanggung rakyat. Khususnya perempuan yang tak banyak dilibatkan tetapi juga ketiban dampaknya. (*)

Tulisan ini merupakan hasil dari Hibah Liputan Remotivi dan WRI Indonesia Transisi Energi yang Adil

 

Bagikan:

Pos terkait