Oleh: Syamsudin Kadirun Kramanadi, Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda
BAHWA Korupsi bersifat universal dan lintas negara (National border). Dimana kecanggihan teknologi dan perkembangan ekonomi global memungkinkan tindak pidana korupsi bisa terjadi dan menimbulkan dampak negatif di berbagai negara.
Bahwa sebagaimana disebutkan di dalam Preamble United Nations Convention Against Corruption yang telah diterima oleh Majelis Umum PBB pada 31 Oktiber 2003 disebutkan bahwa Korupsi merupakan :
BacaJuga
- Ancaman bagi keamanan dan kestabilan masyarakat ( threat to the Stability and security of societies) ;
- Merusak nilai-nilai dan Lembaga-lembaga demokrasi (undermining the institutions and values of democracy) ;
- Merusak nilai-nilai moral dan keadilan (undermining ethical values and justice)
- Membahayakan pembangunan yang berkelanjutan dan rule of law (jeofardizing suistanable development and the rule of law) ;
- Mengancam stabilitas politik ( threaten the political stability).
Bahwa International korupsi adalah fenomena global yang bersifat extra ordinary crime, sehingga diperlukan pendekatan luar biasa pula ( extra ordinary measure) jadi tidak hanya bersifat instrument saja, tetapi juga pendekatan paradikmatik, yaitu suatu pendekatan yang digunakan sebagai alat analisis dalam memahami gejala dan peristiwa pemerintahan yang telah mengalami berbagai perubahan dan penyempurnaan secara terus menerus.
Menjadi pertanyaan menggunakan pendekatan apa yang paling utama untuk menanggulangi Tindak pidana korupsi?
Atas pertanyaan tersebut maka pendekatan dengan hukum adalah sebagai isntrumen utamanya, dimana dalam hal tersebut mengutamakan pendekatan represif dengan melakukan penindakan terhadap pelaku tindak pidana dengan tujuan utamanya adalah penjera-an dan perlindungan masyarakat. Hal ini adalah memberikan konsep bagaimana memberikan pelajaran bagi pelaku dan bagaimana menyelamatkan masyarakat dari perbuatan tersebut.
Bahwa logika penindakan dengan hukum pidana adalah merupakan logika berpikir yang sederhana, dimana pidana akan menghapus tindak pidana. Tetapi realitas social justeru menghadirkan hal sebaliknya, karena tidak jarang pelaku tindak pidana (koruptor) justeru berlindung atau “diayomi” atau dilindungi oleh hukum itu sendiri.
Bahwa sebenarnya korupsi itu tidak sekedar tindak pidana, karena korupsi adalah kompleksitas pelanggaran nilai moralitas, keserakahan, kerakusan, pengingkaran kepercayaan dan sederet keburukan lain sebagai refleksi penyakit hati yang busuk. Dan pelaku ini bisa seorang pejabat, para berkuasa, kaya terhormat karena jabatannya, tetapi tidak puas dengan apa yang di miliki yang didalam kriminologi dikatagorikan kejahatan kerah putih ( white collar crime).
UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 21999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (extra ordinary measure). Terhadap hal ini statemen tegas yang mengakui korupsi sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime ) terdapat dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ( yaitu dalam penjelasan Umum Paragraf kedua).
Bagaimana korupsi didalam dunia Pendidikan ?
Berbicara tentang dunia Pendidikan tentu harus dipahami bagaimana kerjanya suatu pendidik dan murid/mahasiswa yang di didik. Bahwa dua hal yang saling berdekatan antara pendidik dan murid/mahasiswa didik. Hal ini tidak telepas dari kebiasaan dan perilaku masing-masing.
Misalnya seorang murid/mahasiswa selalu ingin mendapatkan nilai yang tinggi dari seorang pendidik, adapun adakalanya untuk memperoleh itu ada sebagian murid/mahasiswa yang melakukan tidak sebagaimana mestinya, karena tentu suatu hal yang normal dan sesuai ketentuan jika diperolehnya dengan belajar yang benar, bukan melakukan pendekatan diluar akademik seperti selalu memberikan sesuatu pemberian / gratifikasi kepada pendidik agar mendapat penghargaan dan diberikan penilaian tinggi tapi bukan dari hasil belajar yang baik tetapi dari gratifikasi tersebut, bahkan ada kalanya murid/mahasiswaa sengaja memberikan imbalan sejumlah uang kepada pendidik agar diberi nilai yag baik sesuai permintaan murid/mahasiswa.
Atau mungkin juga Pendidik sengaja mencari-cari uang dari murid/mahasiswa dengan imbalan nilai tinggi jika bersedia memberikan pemberian baik uang atau barang yang dikehendaki. Hal semacam ini tentu sudah memasuki katagori suap menyuap yang termasuk golongan tindak pidana korupsi.
Sejalan dengan hal-hal tersebut diatas bagi dunia pendidik seharusnya tahu perkataan korupsi yang menunjukkan pada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan ketidakjujuran seseorang berkaitan dengan keuangan. Dan secara harfiah kata Korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidaakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.
Akan menjadi pertanyaan yang sekaligus mencemooh para pendidik jika ditanya bagaimana nasib para murid/mahasiswa seandainya perilaku pendidik penuh dengan ketidak jujuran dalam memberikan contoh perilaku bagi murid/mahasiswa yang dididiknya.
Bagi pendidik seharusnya bisa dimulai menilai bagaimana menyampaikan waktu menyampaikan Pendidikan apakah telah sesuai dengan ketentuan yang diamanahkan kepadanya, jika dalam waktu memberikan pengajaran saja mengurangi waktu yang ditentukan sudah mengurangi hak murid/mahasiswa walaupun murid/mahasiswa tidak berani protes atas haknya yang dikurangi oleh pendidik, apalagi meminta imbalan kepada murid/mahasiswa agar nantinya diberi nilai yang baik. Atau ada metode lain dalam meminta imbalan kepada murid/mahasiswa dengan mensyaratkan membeli buku kepada pendidik yang bersangkutan atau meminta murid/mahasiswa membelikan buku yang diperlukan bagi diri pendidik itu sendiri. Hal ini tentu akan memberikan penafsiran bahwa agar diberi nilai yang memuaskan murid/mahasiswa diminta sesuatu yang dapat dinilai dengan uang untuk kepentingan pendidik itu sendiri walaupun buku tersebut diberikan kepada murid/mahasiswa tapi dengan tebusan uang yang tinggi.
Hal inilah yang seharusnya tidak terjadi dalam dunia Pendidikan atau wajib dihindari bagi semua pendidik, karena biasanya hal ini mendarah daging bagi seseorang pendidik yang telah terbiasa melakukan hal tersebut. Untuk menyelamatkan hal tersebut harus ada pengawasan dari Universitas, setidaknya jika menemukan suara-suara sumbang dari manapun maka Fakultas atau Universitas harus mencari tahu dan memanggil pihak-pihak, baik pihak mahasiswa yang kadang takut karena khawatir akan dinilai jelek oleh oknum pendidik karena memberikan informasi kepada Fakultas atau Universitas.
Tetapi untuk kebaikan maka Fakultas ataupun Universitas harus memberikan apresiasi kepada murid/mahasiswa yang berani menyampaikan kebenaran untuk kepentingan dunia Pendidikan agar bersih dari Tindakan-tindakan korupsi dari oknum-oknum pendidik. Seorang pendidik dituntut untuk memiliki moral yang tinggi dan tidak mudah melakukan hal-hal yang korup.
Sedangkan dalam Islam salah satu ayat yang menyinggung tentang korupsi (riswah) dalam Al-Qur’an dapat kita temukan dalam Surat Al-Baqarah ayat 188 yang artinya : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu, dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim.
Dan jika ditanya apa hukum dalam Islam tentang Korupsi?
Maka disebutkan bahwa Islam memandang korupsi sebagai perbuatan keji, dan perbuatan korupsi dalam kontek agama Islam sama dengan fasad, yakni perbuatan yang merusak tatanan kehidupan yang pelakunya dikatagorikan melakukan Jinayat Al-Kubro ( Dosa Besar).
Sedangkan disebutkan hukuman menurut Hukum Allah Swt dalam hal ini adalah yang disebutkan dalam ayat, yaitu hukumannya dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki secara bersilang atau diasingkan ke negeri lain dan dipenjara di sana.
Oleh karena itu dalam dunia Pendidikan jika terjadi Tindakan-tindakan tidak jujur yang mengarah pada Tindakan-tindakan yang mengarah pada perilaku korup adalah termasuk Merusak nilai-nilai moral dan keadilan (undermining ethical values and justice) yang dikhawatirkan dan disebutkan di dalam Preamble United Nations Convention Against Corruption yang telah diterima oleh Majelis Umum PBB pada 31 Oktiber 2003.
Demikian sekedar catatan untuk mengingatkan kepada kita semua kaum pendidik khususnya diri pribadi penulis yang termasuk pendidik pada Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda.