Keterlibatan Kampus dalam Pengelolaan Konsesi Tambang: Peluang, Tantangan, dan Marwah Akademik

Dea Rizky Amalia, S.sos., M.Si. Dosen Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman 
Dea Rizky Amalia, S.sos., M.Si. Dosen Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman 

“Ketika kampus kehilangan integritasnya, ia tidak lagi menjadi mercusuar peradaban, melainkan sekedar institusi tanpa jiwa”

Catatan: Dea Rizky Amalia, S.sos., M.Si.
Dosen Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman 

Bacaan Lainnya

Wacana mengenai pengelolaan konsesi tambang yang akan diberikan kepada institusi pendidikan tinggi telah menjadi topik pembahasan yang hangat di tengah masyarakat. Isu ini memunculkan beragam pandangan, mulai dari potensi besar yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pendidikan dan penelitian, hingga kekhawatiran terkait risiko terhadap independensi dan integritas akademik. Bahkan, salah satu kampus di Bumi Etam turut menjadi sasaran penawaran untuk terlibat dalam pengelolaan tambang tersebut. Wacana ini mendorong diskusi lebih lanjut tentang bagaimana kampus dapat mengambil peran strategis tanpa mengorbankan marwahnya sebagai lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan dan etika.

Memang jika ditinjau dari perspektif positif, kampus memiliki potensi untuk menjadi pelopor dalam pengelolaan tambang berkelanjutan melalui pendekatan yang transparan dan berbasis ilmu pengetahuan. Ini juga menjadi salah satu sumber pendapatan baru yang akan menopang sektor pendidikan dengan keterlibatan yang aktif, kampus dapat bertransformasi menjadi pusat penelitian, inovasi, dan meningkatkan fasilitas pembelajaran. Selain itu, keterlibatan kampus dalam sektor ini juga dapat membuka peluang kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah, industri, dan masyarakat lokal, untuk menciptakan model pengelolaan sumber daya alam yang tidak hanya berkelanjutan, tetapi juga berkeadilan. Namun, pertanyaan yang muncul kemudian adalah “apakah bisa kampus berkomitmen untuk tetap dapat berperan sejalan dengan nilai-nilai akademik dan etika, sehingga independensi dan marwahnya sebagai lembaga pendidikan tetap terjaga ?”

Keterlibatan kampus dalam sektor pertambangan berpotensi menciptakan tekanan komersial yang dapat mengganggu independensi akademik, penelitian atau bahkan kebijakan kampus nantinya mungkin saja diarahkan untuk mendukung kepentingan bisnis pertambangan. Walhasil, jika hal itu terjadi maka orientasi keuntungan akan mulai mendominasi kebijakan kampus dan berpotensi mengalihkan fokus intitusi akademik dari pengembangan llmu pengetahuan ke orientasi bisnis.

Para akademisi juga menilai bahwa tambang tidak sesuai dengan fungsi utama perguruan tinggi yang berfokus pada pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Sebab potensi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas tambang akan meningkat. Kampus tidak boleh latah dalam berperan mengatasnamakan ilmiah. Sehingga menormalisasi kerusakan alam dan sosial. Jika pengelolaan tambang nantinya menimbulkan kerusakan lingkungan atau konflik sosial, reputasi kampus sebagai penjaga nilai keadilan dan keberlanjutan akan dipertanyakan.

Jika wacana ini benar-benar diimplementasikan, terdapat potensi risiko bahwa kampus akan terjebak dalam konflik kepentingan yang dapat merusak independensinya.

Lebih jauh lagi, hal ini beresiko menghambat kebebasan akademik dan membatasi ruang untuk menyuarakan kritik konstruktif yang seharusnya menjadi bagian integral dari peran kampus sebagai lembaga pendidikan. Sejalan dengan konsep legitimasi otoritas yang dikembangkan oleh Max Weber dalam karya terkenalnya yang berjudul “Economy and Society”, dimana Weber menganggap bahwa otoritas yang sah (termasuk yang ada didalam institusi seperti kampus) harus memperoleh legitimasinya melalui pengakuan masyarakat terhadap sistem dan prosedur yang ada, yang berlaku secara objektif dan bebas dari kepentingan pribadi atau komersial. Peran kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi sangat bergantung pada pemeliharaan otoritas ilmiah yang sah, yang diperoleh melalui independensi dan kebebasan akademik.

Jika kampus terjerat dalam konflik kepentingan terkait pengelolaan tambang, otoritas ilmiahnya dapat dipertanyakan, karena keputusan yang diambil bisa dipengaruhi oleh kepentingan komersial, bukan murni oleh prinsip-prinsip ilmiah dan etis. Kebebasan akademik merupakan dasar dari pengembangan pengetahuan yang objektif dan tidak memihak. Tanpa kebebasan ini, kampus berisiko kehilangan peran kritisnya sebagai pengawas dan pemberi solusi terhadap permasalahan sosial, politik, dan ekonomi yang ada. Dalam konteks ini, keterlibatan kampus dalam konsesi pertambangan harus dikelola dengan sangat hati-hati untuk menghindari potensi komodifikasi pendidikan dan penelitian, yang pada gilirannya dapat membatasi kemampuan kampus untuk berfungsi sebagai ruang publik yang independen dan bebas dalam menyuarakan kritik yang konstruktif.

Pada akhirnya yang harus di garis bawahi adalah, sebagai lembaga pendidikan, kampus memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk menjaga marwahnya dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip independensi akademik, etika, dan keberlanjutan. Oleh karena itu, Jikapun nanti pada akhirnya kampus tetap akan memilih jalan untuk terlibat dalam pengelolaan konsesi pertambangan, maka harus dilakukan dengan sangat hati-hati dengan menetapkan batasan yang jelas antara kegiatan akademik dan bisnis, serta memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil tidak mengorbankan nilai-nilai tersebut. Dengan pendekatan yang tepat, kampus dapat memainkan peran yang konstruktif dalam pengelolaan sumber daya alam, sembari mempertahankan kredibilitas dan integritas.

Kampus bukanlah institusi ekonomi, melainkan benteng terakhir yang menjaga indenpendensi intelekual, kebebasan berpikir, dan kebenaran ilmiah. Apabila kampus kehilangan arah dan larut dalam logika ekonomi, ia akan berisiko kehilangan marwahnya sebagai penjaga peradaban dan suara kritis bagi masyarakat. (*)

Bagikan:

Pos terkait