Dahulu, tak banyak yang tahu soal Suku Balik, yang ada di Sepaku, atau kini lebih beken dengan nama Ibu Kota Nusantara (IKN). Padahal, suku ini sudah eksis sejak ratusan tahun lalu. Namun, pembangunan terus menggerus hingga ke belakang rumah dan gunung tempat bermain mereka. Kini, Pemuda Adat Suku Balik pun atur strategi.
Nofiyatul Chalimah – Sepaku, Penajam Paser Utara
Pendakian Saiduani Nyuk ke Gunung Parung pada 2020 lalu. Jadi kisah awal para Pemuda Adat Suku Balik mulai membangun pergerakannya. Duan, – panggilan Saiduani Nyuk – waktu itu ingin naik Gunung Parung. Sebuah gunung di kawasan Sepaku dengan ketinggian 1320 MDPL. Namun, tak seperti Semeru atau Rinjani yang banyak orang menguasai pendakiannya, jalur pendakian Gunung Parung dikuasai masyarakat Suku Balik yang kebanyakan tinggal di wilayah Sepaku Lama, Kelurahan Sepaku. Waktu itu, pemuda Suku Balik yang diminta membantu. Di situlah mereka bertemu dan rencana penggerakan komunitas Pemuda Adat Suku Balik dimulai. Pasalnya, Duan bukan sekadar penghobi alam, tetapi juga Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Timur.
“Sebenarnya AMAN Kaltim sudah lama sering buat kegiatan di kampung komunitas Adat Balik. Diskusi maupun kegiatan resmi FGD dan program lain. Namun, memang minim pemuda terlibat. Setelah waktu yang cukup lama, kami dan Teman-teman AMAN kaltim merencanakan naik gunung Parung untuk kemping. Ternyata pemuda balik sangat antusias membantu dan bergabung memandu kami ke sana,” cerita Duan.
Mereka pun bikin program penanaman pohon di gunung Parung. Lalu, di sanalah hampir semua pemuda yang aktif bergabung terlibat.
“Setelah program itu, kami membentuk pemuda adat balik dan mereka mulai terorganisir sampai sekarang ikut kegiatan-kegiatan AMAN,” lanjut Duan.
Cerita Duan, diamini Arman Jais, salah satu penggerak Pemuda Adat Suku Balik. Setelah acara naik Gunung Parung, mereka pun mulai melakukan banyak hal. Bersama kawan-kawannya, Arman mulai mendokumentasikan situs sejarah Suku Balik. Hingga, mengetuk satu per satu rumah orang tua Suku Balik. Untuk mendokumentasikan bahasa Suku Balik yang dilakukan sejak 2022 dan akhirnya kelar pada 2023. Lalu dibukukan pada 2024 ini.
Kamus bahasa ini dibuat pasalnya, tradisi lisan membuat tak banyak generasi muda yang mengerti soal suku dimana mereka berasal. Bahasa suku Balik, tak banyak juga dipakai sehari-hari. Hanya sekadar sahutan atau candaan yang sepotong-sepotong.
“Untuk membuat kamus itu, kami datangi orangtua. Misal satu bilang bahasa baliknya ini A, lalu kita kroscek ke orangtua lain. Dan kalau memang A juga, baru kami masukkan. Jadi kami keliling-keliling. Sebab, penuturnya sudah tidak banyak lagi. Tinggal 50 orangtua yang bisa Bahasa Balik,” kata Arman.
Mereka pun menyadari, eksistensi Suku Balik harus disampaikan ke dunia luar. Begitupun kekayaan alam yang jadi sumber hidup mereka selama ini agar khalayak tahu begitu pentingnya kelestarian itu untuk Suku Balik. Untuk menunjukkan sekali lagi, bahwa IKN bukanlah ruang kosong sekadar hamparan hutan tanpa kehidupan berarti di dalamnya.
“Sepaku itu dari bahasa kami yang intinya cari pakis atau sayur paku-pakuan itu. Dahulu itu makanan (pakis), kami cari saja. Sekarang beli di pasar,” sambung Arman.
Dalam setahun, mereka bisa empat kali naik Gunung Parung. Tidak mudah. Sekali naik mereka akan menginap seminggu. Untuk naik ke perkemahan, mereka perlu waktu seharian, sebab medan yang terjal. Lalu, hari kedua hingga jelang turun gunung, mereka akan isi dengan kegiatan misal menyebarkan bibit, menanam pohon lokal, dan juga patroli.
“Kita memeriksa tutupan hutan di Gunung Parung. Jangan sampai tiba-tiba ada pembabatan. Kami juga menyebarkan benih pohon di sana. Bukan membawa benih baru dari luar,” kata Arman.
Mereka juga menggerakkan kelompok sadar wisata (Pokdarwis) untuk pengembangan wisata alam di kampung mereka. Selain itu, pemuda pun membuat akun Instagram dan youtube Explore Pemuda Balik. Akun ini memuat keseruan dan keindahan alam di sekitar mereka. Juga kegundahan atas eksploitasi tak henti. Mirwan, yang mengelola media sosial itu.
“Kalau kita naik gunung terus kita posting, banyak yang penasaran. Oh, ternyata ada gunung yang pemandangannya bagus di IKN. Kita juga berupaya, ini loh gunung bagus jangan sampai dirusak,” sambungnya.
Mereka memamerkan Goa Parung, juga agenda panen kopi khas Sepaku, yang menurut mereka berbeda dengan yang lain. Sebab, kopi sepaku hanya tumbuh di dekat sungai. Bermodal ponsel pintar dan skill edit video gaya kekinian, mereka pun mulai mengunggah video kekayaan alam juga kekayaan budaya.
Namun, tidak hanya sekadar sosial media. Mereka juga belajar menulis. Beberapa Pemuda Adat Suku Balik, juga turut jadi bagian jurnalis rakyat. Mereka kerap mengunggah kondisi terkini di IKN. Banjir hingga kemacetan yang ada di IKN. Di sela kesibukan mereka bekerja, berkebun, menjaga gunung Parung, mereka tetap terus berusaha mengembangkan sosial media. Walaupun, beberapa kali Mirwan terkena serangan peretasan akun instagram pribadinya.
“Sempat beberapa kali ganti akunku. Habis posting-posting soal protes,” sambungnya.
Walau didera peretasan, Mirwan tak gentar. Bersama Arman dan kawan lainnya, mereka tetap mengupayakan keberlanjutan ilmu dan budaya Suku Balik. Para pemuda pun menginisiasi Sekolah Adat untuk anak-anak Suku Balik. Mereka belajar tidak hanya bahasa, kesenian, tetapi juga bagaimana relasi suku balik dengan alamnya.
“Ilmu dari orangtua kita, harus diturunkan ke anak-anak. Kalau di hutan itu harus seperti apa, jika ingin mengambil madu juga seperti apa, dan sebagainya,” papar Arman Jais,
Komunitas Pemuda Adat Suku Balik, disebut Arman digerakkan sekitar 20an pemuda-pemudi. Mereka tidak terikat. Tetapi, karena keinginan melestarikan budaya, mereka berkumpul ketika ada acara. Hanya saja, memang tak semua pemuda sudi tergerak. Kesibukan bekerja atau alasan lainnya, bikin mereka enggan bergabung. Arman dan kawan-kawan pun perlahan mengajak. Caranya mempertanyakan, siapa kita ini?
Pertanyaan itu membuat pemuda berpikir. Ketika mereka tidak bisa menjelaskan siapa mereka. Dari situ, terketuk pintu hatinya untuk terlibat melestarikan adat budaya suku Balik. Juga menjaga hutan dan rumah mereka.
Selain itu semua, mereka juga aktif dalam kegiatan Koalisi Masyarakat Sipil. Mereka berani terdepan memprotes, para pemuda juga bersolidaritas dengan masyarakat adat lainnya. Intimidasi pun sudah dirasakan berkali-kali. Namun, perlawanan tetap dilakukan. Bukan untuk mencari keuntungan sendiri, tetapi memastikan keberlanjutan kehidupan warga Suku Balik.
Hidup Makin Berat Bagi Suku Balik
Protes dan perlawanan itu tak datang tiba-tiba. Sebab, tempat hidup mereka, sudah didera berkali-kali. Sibukdin, Kepala Adat Suku Balik yang jadi saksi bagaimana kehidupan sukunya diambang kekhawatiran semakin terpinggirkan.
“Transmigrasi masuk, perusahaan masuk, dan sekarang pembangunan IKN,” kata Sibukdin.
Sungai-sungai di muka rumah dan belakang rumahnya, yang kini masuk di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, telah dipasang beton-beton gergasi. Katanya, untuk sumber air warga Sepaku. Namun, tak sampai dari 10 meter dari sungai yang jadi sumber air itu, lelaki kelahiran 1963 itu, harus merogoh Rp 40 juta untuk membuat sumur bor.
“Ini hari kelima kita bikin sumur bor. Daripada saya beli air tandon terus. Rp 90 ribu satu tandon buat dua hari. Soalnya, di rumah isinya orang banyak. Padahal, kita ini diapit sungai,” sambung dia saat diwawancarai pada Jumat, 20 Desember 2024.
Dia pun mengenang kehidupan yang menyenangkan saat dahulu dia kecil. Di kampung itu juga, yang dikenal dengan nama Lokdam (merujuk sebutan industri kayu yang ada di hulu kampung). Dahulu, sungai begitu luas bahkan kapal ponton pembawa kayu, juga berseliweran. Kala itu, Sibukdin yang orangtuanya telah tiada, hidup bersama pamannya yang rumahnya di tepi sungai. Mereka berkebun, menanam padi gunung, mencari madu, berburu, dan memancing ikan. Air pun tinggal ambil. Mereka dulu hidup berkecukupan dari tuah hutan dan sungai.
“Sekarang tidak,” sambungnya.
Dia bersyukur dengan gerakan Komunitas Pemuda Suku Balik dan berharap dapat ditingkatkan. Sebab, ilmu tentang budaya dan pengetahuan Suku Balik harus dilestarikan.
“Sekarang kita kita galakkan lagi, untuk mewariskan adat budaya Balik. Ingatan-ingatan soal Suku Balik yang masih tersimpan, kita wariskan ke anak-anak,” kata Sibukdin.
Meskipun diakui, bisa saja ada yang hilang. Sebab, alam di Sepaku sudah tak seperti dahulu. Misal orangtua dahulu bisa mengajarkan bagaimana mencari ikan langsung, atau kehidupan di hutan, mencari madu dan sebagainya, atau kayu mana yang bagus untuk rumah atau buat kayu bakar. Bisa saja, sekarang sudah tidak bisa seperti itu atau ke depan tidak bisa lagi.
“Karena hutannya sudah hilang,” lanjutnya.
Keberadaan alam pun harus dijaga semestinya. Sebab, suku Balik akan selalu kembali dan hidup di kampung itu. Seperti asal nama Suku Balik. Kekhawatiran soal eksistensi Suku Balik juga bukan tanpa alasan. Kini pun, nestapa sudah mereka rasakan. Banjir misalnya. Dahulu mungkin 2-3 tahun sekali banjir karena sungai pasang air dan hujan deras. Namun sekarang tidak. Tiap hujan deras. Banjir mesti menghampiri.
Otorita IKN Ingin Buat Living Museum
Deputi Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN Alimuddin mengatakan, OIKN berusaha memastikan agar masyarakat lokal tak terpinggirkan. Beberapa upaya pemberdayaan pun dilakukan.
Untuk memastikan bahwa masyarakat lokal tidak kalah bersaing. Di sisi lain, pergerakan para pemuda di wilayah IKN tentu saja penting. Dalam konteks masyarakat adat di sekitar IKN termasuk salah satunya Suku Balik, pihaknya saat ini tengah merancang living museum di wilayah IKN. Mereka akan ke berbagai komunitas lokal di Sepaku, untuk menanyakan apa yang bisa ditunjukkan.
“Di living museum itu, nanti akan ada pertunjukan dari kekhasan masyarakat lokal,” kata Alimuddin.
Dia mengambil contoh misal bagaimana kesenian mereka, cara mengambil madu, dan sebagainya. Dengan begitu, upaya pelestarian akan terus sejalan dengan pembangunan IKN.
Namun, Saiduani Nyuk menyebut, bagi masyarakat adat di Kalimantan Timur tantangan besar di depan mata. Terutama di isu pengerusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup masyarakat. Pergerakan para pemuda pun dinanti.
Dia merasa sampai saat ini, belum ada sesuatu yang besar yang dilakukan pemuda baik di kabupaten atau provinsi. Paling hanya mahasiswa yang empati terhadap situasi di kaltim saat ini.
“Maka AMAN, di setiap daerah memiliki visi untuk membentuk komunitas adat atau komunitas pemuda adat yang menjadi tonggak untuk melakukan semacam pengorganisiran, serta menjadi garda terdepan untuk memperjuangkan hak masyarakat adat yang selama ini dirampas,” kata Duan.
Mereka pun mengorganisir Pemuda Balik, AMAN Kaltim pun mencoba memperkuat kapasitas pemuda Adat Suku Balik. Hingga kini, para pemuda sudah memiliki perspektif pembelaan, pengorganisiran masyarakat, mereka juga jadi inisiator di kampung-kampung, seperti penanaman pohon, menjaga hutan, atau mengelola pariwisata seperti Gunung Parung di wilayah adat.
“Ini penting sekali, karena banyak pemuda yang hanya melihat peluang atau berkembang secara ekonomi sendiri hanya menjadi pengabdi atau kerja di korporat. Padahal pemuda bisa membangun basis ekonomi sendiri. mereka bisa melihat potensi alam sendiri seperti mengambil potensi-potensi dari wisata alam, atau membuat basis ekonomi tandingan sendiri. Seperti mengembangkan kopi, bidang peternakan, penanaman, juga mengelola wilayah adat mereka,” sambungnya.
Lanjut Duan, saat ini pemuda balik menjadi inisiator untuk kamus bahasa adat atau buku soal adat balik dan dokumentasi situs-situs sejarah yang mereka miliki. Menurutnya, itu contoh terobosan pemuda yang bisa dilakukan di seluruh nusantara. Tidak menggantungkan diri dari pemerintah atau korporat.
AMAN Kaltim pun kini berusaha menggerakkan para pemuda adat di wilayah lain di Kalimantan Timur. Meskipun, dia akui, ini tantangan besar. Karena banyak pemuda yang apatis terhadap perjuangan masyarakat adat. Bahkan, susah juga menghadirkan mereka dalam pergerakan. Walhasil, masih banyak kelompok tua saja yang terlibat.
“Maka dari itu, kami berharap pemuda adat dari Kalimantan Timur, untuk bersama. AMAN hanya inisiator saja. ke depan, para pemuda yg jadi garda terdepan untuk merebut hak dan mengupayakan kedaulatan masyarakat Adat,” pungkas Duan. (*)
Liputan ini merupakan hasil dari program Beasiswa Liputan Ekuatorial 2024.