Duet Fabio Lefundes dan Dandri Dauri Layak Ditulis dengan Tinta Emas di Buku Sejarah Borneo FC

Dandri Dauri dan Lefundes melakukan pekerjaan yang sangat baik di Borneo FC sejauh ini. (Foto: IG/DD-ILeague)

Duet manajer dan pelatih Borneo FC; Dandri Dauri dan Fabio Lefundes memang belum memenangkan apapun. Mereka bahkan baru melalui 10 pekan Super League, alias baru ¼ jalan. Namun keduanya sudah layak masuk dalam sejarah klub, yang namanya ditulis dengan tintas emas. Karena keberhasilan membawa Filosofi Manyala ke bentuk barunya.

Oleh: Ahmad A. Arifin (Dang Tebe) –Pengamat Borneo FC

Bacaan Lainnya

Dalam beberapa tahun terakhir, saya rutin mencatat hal-hal penting tentang Borneo FC. Misalnya, rekor penampilan, rekor gol, hattrik, debut ikonik, perjalanan karier beberapa pemain, kemenangan-kemenangan penting, rekor-rekor unik, dan masih banyak lagi. Saya tuangkan dalam bentuk artikel atau berita di beberapa media.

Tujuannya hanya satu, mencatat setiap sejarah penting Borneo FC Samarinda setiap musimnya. Karena kelak di masa depan, menurut asumsi dan perhitungan saya, Pesut Etam akan menjadi klub elite. Dan klub elite membutuhkan rangkaian sejarah di berbagai lini. Bukan hanya catatan pertandingan, kemenangan dan kekalahan.

Lahirnya Filosofi Manyala

Ada beberapa hal yang membuat saya kagum dengan sepak terjang Borneo FC di kancah sepak bola. Satu di antaranya adalah klub ini sejak awal merancang sebuah filosofi, yakni Filosofi Manyala.

Kata ‘Manyala’ memang sudah karib di telinga. Itu adalah slogan atau jargon ikonik Borneo FC, meski akar katanya bukan berasal dari Samarinda.

Manyala dalam konteks jargon adalah ekspresi perjuangan, dedikasi, penyerahan jiwa dan raga, serta kebanggaan.

Sementara Filosofi Manyala adalah aplikasi makna Manyala dalam permainan. Pendiri klub ingin Borneo FC memiliki cara bermain yang khas –semacam Barcelona dengan tiki takanya.

Cara bermain yang dimaksud adalah permainan pantang menyerah, berapi-api, menguasai pertandingan, menghibur, dan tentu saja … menang.

Meski teknisnya banyak melibatkan cara bermain sepak bola, namun inti dari Filosofi Manyala adalah mentalitas.

Lima tahun awal berdirinya klub, pencarian atas jati diri itu berjalan pelan dan kurang signifikan. Baru pada 2019, di mana Borneo FC menjalani musim yang luar biasa dengan sempat lama berada di posisi kedua, bahkan sempat bersaing untuk gelar juara. Tapi pada akhirnya finis di posisi ketujuh, akibat hanya meraih 2 kemenangan pada 10 laga terakhirnya.

Hasil itu membuat klub murka. Melakukan evaluasi besar-besaran. Hingga menemukan satu masalah besar, yakni mentalitas. Mungkin kalian lupa, atau belum pernah mengetahuinya, namun tindak lanjut dari evaluasi itu adalah seluruh pemain Borneo FC diwajibkan mengikuti training camp selama sepekan di bawah intruksi militer.

Klub profesional menjalani pelatihan militer selama sepekan. Aneh? Banget. Namun itu adalah tonggak awal lahirnya Filosofi Manyala.

Penantian 4 Tahun

Keresahan akibat hasil yang didapat pada musim 2019 itu, akhirnya membuat klub memahami jalur yang harus mereka tempuh. Berbagai cara mereka lakukan. Mulai dari menciptakan bonding antar-pemain yang pekerjaannya banyak dilakukan oleh jajaran kapten. Merekrut pemain senior dengan mentalitas juara seperti Hendro Siswanto. Menjadikan Borneo sebagai entitas Samarinda –yang kini telah diperbarui menjadi entitas Kalimantan Timur untuk menumbuhkan rasa memiliki dan kebanggaan. Sesi motivasi yang intens, dan banyak lagi.

Empat tahun berjalan setelah banyak cara telah ditempuh. Pasukan Samarinda akhirnya menemukan bentuk Filosofi Manyala yang sejak lama mereka dambakan.

Pada musim 2023/24, di bawah komando Pieter Huistra. Borneo menjelma menjadi tim tak terkalahkan. Lebih dari itu, mereka memiliki ciri khas, yakni penguasaan bola, build up dari kaki ke kaki, permainan dominan dan menghibur, serta pertunjukan sepak bola pantang menyerah.

Tanpa keraguan sedikit pun, Pieter Huistra adalah founding fathers dari Filosofi Manyala. Teraplikasi dalam permainan yang bernama ‘Borneo Style’ atau ‘Huistra Ball’. Sebuah cara bermain yang membuat Borneo menjadi buah bibir. Cenderung mengagetkan publik sepak bola Tanah Air. Mendapat banyak kekaguman dan tepuk tangan. Karena pada akhirnya, ada klub Indonesia yang bermain layaknya tim Eropa.

Sayangnya, perjalanan Borneo Style tidak lama. Pada musim berikutnya, akibat kurang tepatnya kebijakan transfer, permainan itu tidak bisa diulang. Berujung pada pemberhentian Pieter Huistra di tengah musim.

Sampai sini kalian mungkin sudah lupa soal apa tajuk utama artikel ini –yang ingin membicarakan Fabio Lefundes dan Dandri Dauri. Tapi tanpa ulasan sejarah Filosofi Manyala, kelayakan kedua sosok itu masuk dalam tinta emas Borneo FC akan terlihat sebagai pujian tanpa dasar.

Dandri Dauri dalam Filosofi Manyala

Alasan terbesar kenapa Pieter Huistra mampu menemukan Borneo Style yang merupakan perwujudan Filosofi Manyala. Adalah karena tim ini sudah berfokus pada pembentukan mentalitas juara sejak awal 2020. Sosok terbesar dalam upaya itu adalah Dandri Dauri –saat itu belum menjadi figur ITU DIA.

Dandri memang dikenal memiliki karakter keras, tapi tetap tidak mudah baginya membangun manajemen mental di timnya. Ia terus belajar, mencoba hal-hal baru, dan akhirnya membersamai Pieter Huistra meramu Borneo Style.

Kita –sebagai pendukung, atau mungkin Dandri sendiri. Mungkin berpikir bahwa ia telah menemukan puncaknya pada musim emas 2023/24. Sampai akhirnya, ada satu laga yang mengubah semuanya.

Minggu, 19 Mei 2024 di Stadion Batakan, semifinal leg 2 Championship Series Liga 1. Pesut Etam memulai pertandingan dengan agregat -1, hasil dari kekalahan di leg pertama dengan skor 1-0. Mereka butuh keunggulan 2 gol untuk lolos ke final. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, Borneo kalah 2-3, dalam permainan yang enggak banget.

Tidak ada api di mata para pemain kala itu. Yang tampak hanya rasa frustasi, bingung, dan ketakutan. Membuat permainan mereka berantakan, berujung pada kekalahan paling menyakitkan.

Dandri Dauri, menjadi orang terdepan yang menghadapi para pendukung yang kecewa. Dia mengatakan, bahwa kekalahan ini, kegagalan mencapai final dan kans bermain di Asia, sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya. Ia minta pendukung menyalahkannya, bukan pemain ataupun pelatih.

Siapa sangka, itu menjadi speech terakhir Dandri di Borneo. Karena setelahnya ia menghilang. Memilih mengasingkan diri dari sepak bola.

Saya belum pernah benar-benar bertanya tentang alasannya pergi. Namun sebuah asumsi muncul di kepala saya. Yakni … Dandri adalah sosok paling penting dalam pembentukan mentalitas. Dan saat itu, mentalnya sendiri telah hancur.

Bagi pria sejati, cara menghadapi sejuta amarah di kepalanya bukanlah dengan mengumpat, menghancurkan barang, atau sejenisnya. Namun menelan, menyendiri, dan menyembuhkan diri. Dandri memilih cara pria sejati, ia mengambil jalan penyembuhan jalur spiritual.

ITU DIA Kembali!

Di musim 2024/25, selain kegagalan Borneo mendapatkan playmaker handal. Kepergian Dandri juga menimbulkan lubang besar. Tidak ada lagi sosok yang meneriaki mereka, sosok yang setiap pekannya membangunkan jiwa ksatria pemain. Dampak kerusakannya terlalu luar biasa.

Kita akhirnya sampai di awal musim 2025/26. Sebuah musim yang telah saya catat sebagai Project Restart.

Di musim ini, hanya 4 pilar dari skuad emas 2023/24 yang tersisa. Yakni Nadeo, Fajar Fathurrahman, Kei Hirose, dan M. Sihran. Lainnya sudah hengkang. Ditambah, transfer Borneo yang tidak terlalu wah.

Pilar musim ini terbentuk dengan mengandalkan eks pilar skuad emas, pemain terbaik musim lalu: Chris, Peralta, dan Rivaldo. Pemain asing baru: Caxambu dan Juan Villa, serta pemain yang dirawat sejak 2020: Komang Teguh. Lainnya masih diperebutkan, misalnya posisi penyerang tengah dan sayap.

Di barisan skuad reguler tampak tidak ada masalah. Mereka adalah barisan pemain berkapasitas. Yang menjadi PR adalah pelapisnya. Mayoritas adalah pemain muda dan/atau pemain kurang berpengalaman. Di atas kertas, jika badai cedera seperti akhir musim 2023/24 kembali terjadi, sulit membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Jauhkan bala.

Jika merujuk pada nilai pasar yang dibuat Transfermarkt, Borneo berada di uturan ke-8 dalam daftar tim dengan nilai pasar tertinggi. Di bawah Persib, Persija, Dewa United, PSM, PSIM, Persebaya, dan Bhayangkara.

Secara matematis, Borneo harusnya kesulitan untuk bersaing di jalur juara, bahkan papan atas. Namun Filosofi Manyala, sekali lagi membawa mereka mematahkan perhitungan dan prediksi itu.

Alasan terbesar kenapa anomali itu bisa terjadi adalah … Filosofi Manyala telah mencapai next level. Bentuknya tidak sama seperti musim 2023/24, tapi core-nya masih sama. Dan siapa lagi yang paling bertanggung jawab atas itu selain Dandri Dauri.

Sejak mengumumkan kembali pada awal musim, ia hadir dengan banyak gebrakan –yang menurut saya unik dan fresh. Saya tak ingin menuliskan detailnya, tapi serius, cara Dandri membakar mentalitas pemain musim ini, telah berada di level yang lebih tinggi ketimbang periode sebelumnya.

Singkatnya, Dandri Dauri telah mengubah ITU DIA ke level dua dalam kepergiannya selama semusim lalu.

Duet Dandri-Fabio

Filosofi Manyala level selanjutnya. Core-nya telah di-upgrade oleh Dandri. Sedangkan teknis sepak bolanya dilengkapi oleh Fabio Lefundes. Pelatih asal Brasil yang sempat diremehkan itu, ternyata mampu mengangkat performa tim lewat jalur pragmati.

Inilah perbedaan besarnya, jika Huistra menemukan bentuk terbaik permainan timnya, dan selalu menggunakan cara itu di setiap pertandingan. Lefundes melakukan kebalikannya. Borneo ia bawa memainkan permainan reaktif. Setiap pekan, mereka bermain dengan pakem dan susunan pemain yang berbeda. Menyesuaikan cara bermain setiap lawan.

Metode ini berat. Lefundes harus begadang setiap malam demi mempelajari calon lawannya. Dan pemain harus memahami, melatih, dan menerapkan pola permainan yang berbeda setiap pertandingan.

Kekayaan taktik yang dimiliki dan diterapkan Lefundes, berpadu dengan mentalitas yang dibangun Dandri. Pada akhirnya telah membawa Borneo menerobos jauh –mencetak rekor besar di sepak bola Indonesia. Yaitu menjadi tim pertama yang mampu menang di 8 laga pembuka kompetisi domestik. Rekor sebelumnya hanya 3 kemenangan di awal musim. Maka surplus 5 kemenangan, dengan potensi rekor terus bertambah, Pesut Etam telah mencatatkan sejarah yang teramat besar!

Atas dasar inilah, Dandri dan Fabio layak mendapat tempat istimewa dalam sejarah klub asal Samarinda.

Suka Apresiasi tapi Tak Suka Pujian Tunggal

Selain saling melengkapi dalam pekerjaan, Dandri dan Fabio Lefundes memiliki 1 persamaan lagi. Yaitu sama-sama tidak suka dipuji berlebihan.

Dari mana saya tahu? Sampai hari ini, saya sudah 2 kali memuji Lefundes secara khusus. Tapi dua kali juga dia mengklarifikasi lewat konferensi pers pascapertandingan. Pada prinsipnya dia berterima kasih untuk pujian saya, tapi dia tak mau mengambilnya sendiri. Pria Brasil lebih suka jika apresiasi itu dialamatkan untuk semua staf kepelatihan.

Level tertinggi tak mau mengambil pujian untuk dirinya sendiri, ia tegaskan lewat sebuah kalimat usai pertandingan lawan Persija. “Kalau hari ini bukan saya yang mendampingi, Borneo tetap akan menang. Karena semua pemain dan staf pelatih telah bekerja keras.”

Deeeemn banget gak tuh. Setelah melakukan banyak pekerjaan bagus. Fabio justru merasa tanpa dirinya, Borneo tetap akan mencatatkan kesempurnaan seperti saat ini.

Kepada Dandri, saya juga pernah memujinya secara langsung, dalam kesempatan wawancara 4 mata. Tahu apa yang ia katakan? Bukan dia yang membuat mentalitas pemain Borneo terjaga setiap pekannya. Ia hanya merasa menjadi bagiannya saja, bukan tokoh utamanya. Kok bisaaaaaaa?

Tapi … tapi, saya menangkap pesan tersembunyinya. Keduanya hanya merasa pekerjaan mereka belum tuntas. Masih ada mimpi besar yang harus diwujudkan, yakni bintang pertama.

Sepak bola selalu dinamis. Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi. Mungkin benar menjadi juara, atau terpongkeng di akhir musim. Siapa yang tahu.

Karena itu lah, sebelum tujuan tercapai, baik Dandri maupun Fabio, tak mau larut apalagi sampai tenggelam di lautan pujian. Di fase ini, pujian berarti 2 hal. Bisa menjadi bahan bakar atau racun.

Mr. ITU DIA juga menegaskan, saat diragukan, ia bisa membawa Borneo FC melampaui ekspektasi. Sehingga ia suka jika timnya terus diremehkan seperti, “Ntar juga habis bensin”.

Ini seperti, seniman harus tetap grogi sebelum naik panggung. Karena kalau kehilangan itu, berarti si seniman sudah meremehkan panggung, sehingga tak akan bisa melakukan hal besar. Atlet pun begitu, jika tidak ada yang perlu dibuktikan, susah membuat jiwa mereka terbakar.

Dear, Bang Dandri dan Coach Fabio

Kalian berdua dengan sebenar-benarnya, telah layak dicatat dalam sejarah Borneo FC dengan tinta emas. Memang baru 10 pekan, 8 pertandingan, dan belum ada hal besar seperti trofi yang dicapai. Ini belum selesai.

Tidak ada maksud dari saya, untuk semakin memperdalam lautan pujian yang memabukkan. Bagaimana pun, saya juga punya mimpi –yaitu ingin merasakan pawai juara Borneo di jalanan Samarinda sebelum mati.

Tapi umur tak ada yang tahu. Sebagai manusia yang sadar akan hal itu, saya hanya khawatir tidak sempat mencatatkan arsip tentang bagaimana kalian berdua telah mewujudkan Next Level of Filosofi Manyala.

Mari biarkan artikel ini menjadi arsip sejarah, bagaimana bentuk kedua Filosofi Manyala tercipta dan oleh siapa saja. Setidaknya berdasarkan versi saya –orang luar klub.

Tentu saya tahu peran semua pemain, staf pelatih, staf klub lainnya, jajaran pimpinan, hingga owner. Bahkan supporter dan fans. Tapi itu akan menjadi bagian yang berbeda.

Kali ini, adalah tentang sosok Bang Dandri dan Coach Fabio. Mari berdoa untuk panangnya umur kita. Agar makin banyak hal besar yang kalian lakukan, dan saya dengan setia akan mencatatnya.

Bismillah tahun ini juara. (has)

Bagikan:

Pos terkait