Festival Ibu Bumi Menggugat: Ta’awun untuk Keadilan Ekologi

Festival Ibu Bumi Menggugat
Festival Ibu Bumi Menggugat

Samarinda,– Kalimantan Timur, yang dikenal sebagai salah satu bagian dari paru-paru dunia, kembali menjadi pusat perhatian dalam perdebatan besar mengenai kelestarian ekologi. Pada hari ini (15/12/2024), Festival Ibu Bumi Menggugat secara resmi digelar di Samarinda, dengan tema “Ta’awun untuk Keadilan Ekologi”. Festival ini diselenggarakan oleh Kader Hijau Muhammadiyah, berkolaborasi dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil (CSO) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), seperti Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim), Pokja 30, Lembaga Bantuan Hukum Samarinda, Muara/Org, Perempuan Mahardhika, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda.

Kalimantan Timur, dengan kekayaan alamnya yang melimpah, khususnya hutan hujan tropis dan sumber daya tambang seperti batu bara, telah menjadi salah satu provinsi penghasil terbesar batu bara di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per November 2021, terdapat 476 izin usaha pertambangan (IUP) di provinsi ini, mayoritas untuk tambang batu bara. Batu bara menyumbang hingga 70% pendapatan daerah dan menjadi penggerak utama perekonomian Kalimantan Timur. Namun, di balik keuntungan ekonomi tersebut, dampak kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang kian mengkhawatirkan.

Festival Ibu Bumi Menggugat hadir sebagai respons atas situasi ini sekaligus sebagai wadah diskusi tentang dampak kebijakan pemerintah, khususnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024. Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 83A, yang memprioritaskan ormas keagamaan untuk memperoleh izin usaha pertambangan, termasuk wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK). Kebijakan ini dikhawatirkan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan dan memperparah kerusakan ekosistem, terutama karena ormas keagamaan yang mendapatkan izin tersebut belum tentu memiliki kapasitas mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.

Dalam diskusi utama festival, Fahmi Ahmad Fauzan, perwakilan Kader Hijau Muhammadiyah, menegaskan pentingnya gotong royong atau ta’awun dalam menghadapi krisis ekologi. “Sebagai bagian dari gerakan kader hijau, kami percaya bahwa ta’awun adalah jalan memperjuangkan keadilan ekologi. Bumi ini adalah ibu kita, yang harus dijaga bersama. Namun, proyek besar seperti geothermal, tambang marmer, dan tambang batu bara justru merusak ibu bumi dan menghancurkan ruang hidup kita,” ujarnya.

Festival ini tak hanya menjadi wadah diskusi, tetapi juga ruang solidaritas antar komunitas lingkungan. Selama satu hari penuh, berbagai kegiatan digelar, mulai dari diskusi publik, pameran seni, hingga pertunjukan seni seperti tari, puisi, monolog, musik, dan stand-up comedy yang mengangkat isu sosial-ekologi. Festival ini bertujuan membuka ruang bagi masyarakat untuk terlibat langsung dalam upaya penyelamatan lingkungan.

Aidil, Ketua Panitia Festival, menjelaskan bahwa acara ini merupakan kelanjutan dari rangkaian roadshow sebelumnya di Trenggalek (Jawa Timur) dan Kupang (Nusa Tenggara Timur). “Kami ingin membuka wawasan anggota Muhammadiyah tentang pengelolaan tambang dan dampaknya terhadap lingkungan. Dengan acara ini, kami berharap memulai perdebatan konstruktif dalam Muhammadiyah serta memperbarui pemahaman dan kebijakan tentang isu ekologi,” jelasnya.

Aidil juga menekankan pentingnya diskusi untuk mengevaluasi keputusan Pengurus Pusat Muhammadiyah terkait pengelolaan tambang dan sumber daya alam. “Kami berharap melalui kegiatan ini, anggota Muhammadiyah dapat membuka perspektif baru yang mendukung keberlanjutan lingkungan,” tambahnya.

Beberapa narasumber hadir dalam festival ini, termasuk Mareta Sari dari JATAM Kaltim, Adinda Rahmadhani dari PW IPM Kaltim, Parid Ridwanuddin dari LHKP PP Muhammadiyah, Yuda dari AJI Samarinda, dan Arip Yogiawan dari Koalisi Bersihkan Indonesia. Diskusi tersebut diharapkan memberikan wawasan tentang keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

Festival Ibu Bumi Menggugat adalah upaya nyata memperjuangkan keadilan ekologi dengan mengedepankan nilai ta’awun. Festival ini mengingatkan kita semua akan tanggung jawab kolektif dalam menjaga bumi untuk generasi mendatang. (ad)

 

Bagikan:

Pos terkait