Masri merasa semua hadiah yang diperoleh bukan tujuan utama dalam berjuang mengejar impian. Demi sebuah impian, dirinya tidak keberatan jika 70 persen biaya perjalanannya ke Turki ditanggung oleh dirinya sendiri. Kepada para pemuda, Masri berpesan agar peka terhadap permasalahan sosial yang terjadi di lingkungan sekitar.
Elton Wada – Berau
Mediaetam.com – Turki masih dilanda musim dingin. Matahari belum juga muncul walau jarum jam menunjukkan pukul 07.00 pagi. Tubuh yang dibalut jaket tipis tentu tak mampu menahan gigil.
Dingin itu menyambut Masri Adi Putra, ketika kakinya dijejakkan di Istanbul International Airport pada 2 Februari lalu. Hari itu, pemuda kelahiran Sambakungan, Kabupaten Berau ini datang untuk program Istanbul Youth Summit yang diselenggarakan oleh Yayasan Youth Break Boundaries.
Bersama 100 lebih peserta lainnya yang berhasil lolos seleksi, Masri mengikuti program yang dilaksanakan setiap tahun itu, dalam rangka pengembangan pemuda.
Melalui program itu, pemuda diharapkan peka dalam menanggapi isu-isu sosial yang terjadi pada tahun itu sekaligus menciptakan program-program lain yang bisa dijalankan oleh kaum muda.
Kepada jurnalis Mediaetam, mahasiswa Universitas Mulawarman ini mengatakan dirinya mengikuti program tersebut berkat ajakan teman sekampusnya. Memang awalnya, dirinya hanya berniat untuk coba-coba.
Namun, dalam perjalanan selanjutnya, program yang diketahuinya pada Juli 2022 lalu itu terlihat begitu penting dan serius. Masri pun memutuskan untuk mengikuti tahapan seleksi yang disiapkan panitia secara sungguh-sungguh.
Pada tahap awal, Masri mesti bersaing dengan ribuan peserta dari berbagai negara. Nasib mereka lolos ke tahap selanjutnya ditentukan oleh esai yang ditulis dalam Bahasa Inggris.
“Jadi saya ambil tema Smart City, dengan sub tema bagaimana menciptakan kota yang memiliki sistem traffic yang bagus dan dapat mengendalikan kemacetan lalu lintas di mana-mana. Saya mengirimnya sekitar Agustus lalu,” kisahnya pada Sabtu (18/02/2022).
Dengan sub tema itu, Masri berusaha merumuskan dan menciptakan suatu kota cerdas yang saling terkoneksi secara digital dalam memonitor arus lalu lintas.
Semua persoalan terkait arus lalu lintas dan kemacetan ini terintegrasi dalam satu aplikasi, yang memberitahukan bahwa pada jam tertentu jalur sekian tidak bisa dilalui karena macet.
Untuk mengadopsi sistem itu, maka perlu dilakukan digitalisasi traffic lights dan arus kendaraan. Digitalisasi ini penting dalam membantu ‘rekayasa arus’ ketika suatu ruas jalan berpotensi macet.
Ide smart city dalam bidang kemacetan lalu lintas ini penting, mengingat saat ini pertumbuhan kendaraan bermotor sukar dibendung dan kemacetan timbul di mana-mana, sementara jumlah pedestrian kian menurun.
“Solusinya dengan pembuatan peralatan transportasi masal. Tapi sistem traffic kita belum mengikuti perkembangan zaman. Itu isi esai yang saya kirim kemarin,” jelasnya.
Smart City ini sangat penting ke depan karena Berau menjadi salah satu kota penyangga IKN. Menuju IKN ini, gap perbedaan kualitas pembangunan, termasuk upaya mengatasi kemacetan perlu dilihat kembali.
Pasalnya, kemacetan juga sudah mulai terjadi di Berau. Kalau kemacetan itu tidak diatur secara baik, maka ke depan lalu lintas kendaraan dan aktivitas pembangunan masyarakat dapat terhambat.
“Sebenarnya, ide Smart City, masih merupakan ide naif, belum pantas untuk direalisasikan. Toh kita akan berhadapan dengan regulasi, berhadapan dengan kondisi finansial Berau, dan sebagainya,” paparnya.
Namun jika pemerintah mau serius menggarap proyek Smart City ini, ide tersebut tidak buruk untuk didiskusikan secara bersama. Butuh kerja sama semua pihak untuk mendalami ide tersebut dan partisipasi semua kalangan baik pemerintah, akademisi, maupun masyarakat.
Esai Smart City yang ditulis Masri itu rupanya dianggap layak oleh juri. Pada Oktober 2022, Dirinya dinyatakan lulus seleksi dan siap melangkah ke tahap selanjutnya bersama rekan-rekannya dari Indonesia, Pakistan, Kazakhstan, India, Malaysia, Turki, Kirgizstan, dan sebagainya.
Pada tahap kedua ini, panitia membagi peserta yang membahas tema yang sama ke dalam satu kelompok. Terdapat 23 kelompok yang dibentuk dan diberikan pendampingan oleh panitia untuk membuat proyel baru.
Sesuai ketentuan panitia, proyek baru yang dikerjakan itu mesti bersinergi dengan program Sustainable Development Goals (SDGs), program PBB.
Masri masuk dalam grup bertema Smart City dan bersama teman sekelompoknya membahas tema Tameer Se Taleem (Improving Quality of Life, Education, and Infrastructure in Slums) atau perbaikan kualitas hidup, pendidikan, dan infrastruktur di daerah pemukiman kumuh.
Tema ini kemudian dipetakan dalam beberapa problem analisis untuk selanjutnya dibuatkan riset. Pertama, terdapat temuan bahwa 1 dari 5 orang di Indonesia, hidup di pemukiman kumuh atau tinggal dalam kondisi yang tidak ideal. Kedua, 40 persen dari emisi karbon diciptakan dari limbah hasil konstruksi Ketiga, sepertiga dari limbah itu memenuhi sampah di dunia ini.
Tiga poin pemetaan ini kemudian sampai pada perumusan masalah, bagaimana limbah dari konstruksi ini bermanfaat bagi masyarakat yang hidup di daerah permukiman kumuh ketika fasilitas pendidikannya belum memadai.
Karena itu, manfaat praktis yang hendak dicapai dari proyek ini, mendaur ulang limbah konstruksi menjadi kursi, meja, dan perabot lainnya. Manfaatnya juga untuk membantu dunia pendidikan yang masih kekurangan fasilitasnya.
Pembahasan tema ini, ungkap Masri dilakukan via zoom, mengingat teman-teman sekelompoknya berasal dari wilayah yang berbeda dan mereka tidak memiliki kesempatan dan anggaran yang mendukung untuk bertemu langsung.
Dari tema ini, kelompok Masri kemudian memilih sub tema, Sampah Konstruksi. Sub tema ini merupakan ide temannya dari Pakistan yang ditulis dalam esainya.
Esai itu menjadi pilihan kelompok, karena secara praktis sudah pernah dikerjakan sehingga menjelaskannya pun menjadi lebih mudah. Berikutnya, tinggal dibuat penambahan atau pengurangan. Sedangkan esai lainnya, dinilai belum terlalu mudah untuk diselesaikan.
Esai kelompok itulah yang akan dipresentasikan pada forum di Istanbul yang dilaksanakan pada 06-09 Februari 2023.
Selamat dari Gempa
Masri ada di kota itu ketika gempa yang menciptakan keretakan panjang lebih dari 100 km antara lempeng Anatolia dan Arab itu sedang terjadi.
Namun beruntung, dirinya dijauhkan dari malapetaka itu, sebab ketika tiba di Istanbul, tempat penginapannya terletak di Turki sisi Eropa. Sedangkan, gempa terjadi di wilayah Turki sisi Asia, berbatasan langsung dengan Suriah.
Terlepas dari situasi yang mendebarkan jantung itu, Masri menegaskan bahwa Turki merupakan salah satu kota bersejarah yang mesti dikunjunginya sebelum dia mati.
Di kota itu, terdapat salah satu peninggalan terakbar kota itu yakni Masjid Hagiah Sophia. Pada zaman Bizantium, Hagia Sophia menjadi gereja terbesar (Magna Ecclesia) dan menjadi pusat gereja Kekaisaran Romawi Timur.
“Masuk ke tempat itu antrean sangat panjang. Di dalamnya ada poster Bunda Maria. Waktu al-Fatih poster itu sempat ditutup. Lalu ketika menjadi museum poster itu dibuka. Dalam masjid saat ini, poster ini masih terbuka. Tidak masalah ada poster itu, karena dalam Islam, Bunda Maria menjadi salah satu tokoh yang penting,” ungkap pemuda berusia 25 tahun itu.
Setelah mengambil jeda untuk mengunjungi tempat bersejarah itu, tibalah waktunya, 08 Februari, giliran Masri dan temannya-temannya untuk memaparkan materinya.
“Saya berkesempatan untuk bahas dari sisi finance untuk kelompok kami. Di bagian ini, saya membahas bagaimana membuat RAB, mencari sumber dana seperti dari pemerintah, melalui perusahaan sektoral di bidang ini, juga membangun kerja sama di bidang CSR, atau dari organisasi sosial internasional seperti Unicef dan Open Source Founding,” jelasnya.
Total anggaran yang dibutuhkan untuk project itu hanya sekitar 250 USD atau sekitar Rp 3.750.000 lebih, untuk menghasilkan sekitar 100 buah kursi dan meja. Jumlah uang itu sudah termasuk membiayai marketing, public relation, dan human salary.
Raih Kelompok Terbaik
Dari kerja kerasnya, Masri dan kelompoknya masuk tiga kelompok terbaik (best group) dari 23 group yang memaparkan materinya dan berhak memperoleh hadiah berupa piala, piagam, pendampingan, dan uang tunai 200 USD pada awarding night dan cultural night.
Masri merasa semua hadiah itu bukan tujuan utama dalam berjuang mengejar impian. Demi sebuah impian, dia pun tidak keberatan jika 70 persen biaya perjalanannya ke Turki ditanggung oleh dirinya sendiri.
Uang itu dikumpulkannya sejak ia membuka usaha saat kuliah sambil kerja. Sisanya dari keluarga dan pihak ketiga. Sedangkan biaya penginapan, makan minum, akomodasi kendaraan dan sebagainya ditanggung panitia.
Terhadap segala usaha dan perjuangan serta capaian itu, Masri mengaku berbahagia. Dia pun tidak ingin menyebut dirinya mewakili Kabupaten Berau atau mewakili Kaltim dalam program yang diikutinya itu.
“Namun saya bangga karena waktu cultural night pada hari terakhir kegiatan, kita dari masing-masing memperkenalkan budaya kita. Waktu itu saya memakai baju daerah Berau. Ada kebanggaan tersendiri bisa memperkenalkan Berau di mata dunia,” sambung alumni SMA 4 Sambaliung tersebut.
Secara khusus, Masri menegaskan bahwa output dari presentase itu yakni penyusunan protipe perencanaan ke depan untuk selanjutnya diterapkan di negara-negara yang membutuhkan.
Untuk jangka panjang, program ini berupaya mempersiapkan pemuda agar dapat menemukan ide-ide kreatif yang bisa dipakai untuk pembangunan peradaban global.
Kepada kaum muda Berau, Masri berpesan agar para pemuda semakin peka dengan permasalahan sosial yang terjadi di sekitarnya. Kepekaan itu juga mesti didukung oleh argumentasi dan diskusi ketika berhadapan dengan masalah.
Karena itu, literasi di Berau harus ditingkatkan. Pasalnya, literasi ini yang lebih memanusiakan manusia. Sayangnya, di Berau, nyaris tidak memiliki toko buku. Bisa menandakan masyarakatnya kurang berminat terhadap buku atau tidak suka mencari buku; terlepas dari teman-teman yang memiliki buku yang dibeli dari wilayah lain di luar Berau.
Indikator kedua, perpustakaan kita sepi yang menunjukkan bahwa minat baca masyarakatnya rendah. Dua indikator itu menunjukkan tingkat literasi kita masih stagnan. (*)