Sekitar 87 kilometer di tenggara lokasi pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru di Sepaku. Tuah air Selat Makassar dengan vegetasi yang memagari daratan, jadi alasan kehidupan terus berjalan untuk 4 ribu penduduk. Tetapi, kenaikan air dari Selat Makassar itu menghantui, seiring dengan pagar vegetasi yang makin renggang.
Nofiyatul Chalimah – Babulu Laut, Penajam Paser Utara
Tanpa aba-aba pemerintah atau sosialisasi sejenisnya, Wasmin menanam pohon bakau di tengah tambaknya di Desa Babulu Laut, Penajam Paser Utara. Kalau kata ilmuwan zaman sekarang, namanya silvofishery. Tetapi, Wasmin tidak tahu itu Silvofishery. Awalnya sih cuma coba-coba.
Lelaki asal Indramayu, Jawa Barat itu mulai membuka tambaknya sejak 2008. Sama seperti tambak lain di desanya, tambak harus bersih. Tidak ada pepohonan di tengah-tengah. Awalnya bagus.
“Habis itu kok kuning terus, airnya asam. Jadi, saya pikir dihutankan saja lagi,” sambungnya saat disambangi rombongan jurnalis yang difasilitasi Yayasan Planet Urgensi Indonesia (YPUI), pada 9 Januari 2025.
Dua tahun membuka tambak sendiri, Wasmin pun menanam pohon mangrove yang bibitnya dia ambil dari sekitar desa. Wasmin bertaruh, pohon-pohon ini bisa membuat tambaknya lebih baik atau tidak. Ternyata, pertaruhan dia menangkan. Pepohonan itu membawa tuah. Tambaknya produktif dan dia tidak payah membeli pupuk yang kadang harganya mencekik itu. Wasmin hemat ratusan ribu rupiah tiap bulan.
Wasmin juga mulai panen enam sampai tujuh kuintal ikan bandeng, per lima atau enam bulan, yang terkadang dapat bonus udang dan kepiting. Kini, agar ikan yang dia panen makin banyak, gemuk, dan bisa punya nilai lebih, dia mencoba cairan pupuk organik yang diajarkan organisasi non-profit Pokja Pesisir Nelayan dan Yayasan Planet Urgensi Indonesia (YPUI).
Pupuk ini adalah fermentasi dua minggu dari tepung ikan, dedak, gula merah, dan sejumlah bahan lain yang akan disiramkan saat air pasang. Takarannya tiga gayung untuk satu hektare, agar makin banyak plankton dan lumut yang jadi sumber makanan ikan bandeng.
Usaha mirip Wasmin dengan cerita berbeda diceritakan Were yang sejak lahir telah hidup didera angin tepi Selat Makassar. Were, saksi hidup bagaimana kehidupan di Babulu Laut yang dia rasakan sejak lahir pada 1972 mengalami berbagai perubahan. Dahulu, bukan tambak jadi sumber kehidupan warga Babulu Laut. Melainkan, kelapa. Sumber ekonomi yang juga jadi alasan Wasmin mengadu nasib dari Indramayu ke Babulu Laut pada usia 18 tahun saat dekade 90an.
“Ini semua dulu kelapa. Kami semua di sini dulu berkebun kelapa,” kata Were menunjuk tambak seluas empat hektare miliknya.
Tanah yang kini jadi tambak, disebut Were dahulu kering. Hingga, sekitar tahun 1985, tambak mulai dibuka di hutan mangrove yang berbatasan selat Makassar. Mangrove yang tersisa, tak sanggup membendung air Selat Makassar, dan masuk membanjiri kebun kelapa. Merusaknya. Lelah gagal panen, warga lalu beradaptasi, dan membuka tambak yang lebih bersahabat dengan air laut. Termasuk Were yang mulai membuka tambak pada tahun 1990.
“Dahulu kita enggak pakai pupuk. Tanpa pakan. Pokoknya alami. Dibiar-biarkan saja. Setelah tahun 2000an, baru pakai pupuk. Dua karung empat hektare. Satu karung bisa 800 ribu,” cerita Were.
Waktu berlalu, dan produksinya kerap menurun, sebab lumut dan plankton tak banyak. Belum lagi kelomang tambak yang menghantui. Dia mencoba menyelingi dengan rumput laut. Jika produksi dan harga pasar bagus, dia bisa mengantongi Rp50 juta kurang dari dua bulan. Jika tidak, hanya Rp15 juta saja.
“Kita panen per 50 hari. Bisa dapat 10 ton. Harga bagus lima ribu rupiah. Kalau turun, bisa sampai seribu lima ratus rupiah,” sambungnya.
Usaha lain ditempuh Were. Dia pernah mencoba tambak intensif dengan memberi pakan roti. Sekali kasih makan, 30 kilogram. Ikannya gemuk, namun kadang harga jual ikan tidak bersahabat dan dia merugi. Belum lagi, tambaknya kotor.
Maka dari itu, Were mengiyakan tawaran dari Pokja Pesisir dan YPUI untuk mencoba silvofishery di tambaknya. Dia pun menanam seribuan bibit mangrove di empat hektare lahan tambaknya. Dalam dua tahun, akan dilihat apakah silvofishery akan menyelamatkan tambaknya dan jadi solusi pertambakan di Babulu Laut, seperti yang dikatakan para ahli.
Ketua Pokja Pesisir Mapaselle memaparkan, tambak milik Were ini, akan menjadi tambak percontohan. Sehingga, bisa dilihat bagaimana hasil tambak yang diintegrasikan dengan pohon-pohon mangrove. Dia menjelaskan, pada dasarnya, tambak di wilayah Kaltim masih didominasi dilakukan secara alami. Jadi, para petambak berusaha menumbuhkan lumut dan plankton untuk sumber pakan ikan dan udangnya. Tidak diberi pakan langsung jadi.
“Agar lebih produktif dan ramah lingkungan, kita juga beri pelatihan untuk membuat pupuk cair alami sendiri. Seperti pak Wasmin dan pak Were ini sudah mendapat pelatihan membuat pupuk alami dari kita dan uji coba pupuk alami untuk mereka coba di tambak masing-masing,” jelasnya.
Desa yang Hidup dan Dihantui Air Laut
Desa Babulu Laut berada di posisi paling timur di antara 12 desa se Kecamatan Babulu. Sebelum Desa Babulu Laut terbentuk, desa ini dinamakan kampung laut karena daerahnya berada di pinggir laut. Perumahan masyarakatnya pun sebagian besar dibangun di atas air. Kampung ini pernah bergabung dengan Desa Muara Telake dan juga Desa Labangka.
Air laut yang makin naik dan fasilitas di darat yang lebih terjangkau jadi alasan, mengapa permukiman Babulu Laut tak lagi benar-benar di tepi laut. Mereka meninggalkan rumah-rumah mereka yang dahulu berhadapan dengan Selat Makassar. Jejaknya adalah kompleks makam di muara sungai yang tersisa.
Pirman, Sekretaris Desa Babulu Laut bercerita dahulu, sungai di desa Babulu Laut cukup sempit. Dedaunan pohon nipah di kiri kanan sungai, bisa saling bersentuhan. Namun, sungai ini makin lebar. Bahkan ada yang lebarnya 40 meter. Pembukaan lahan tanpa kontrol dan abrasi, disebut jadi sebab. Tambak tertua di wilayah ini, jika merujuk surat sertifikat, sekitar tahun 1982. Dari 10 ribu hektare lahan desa, tiga ribu hektare diantaranya adalah tambak.
“Sisanya sawah dan kebun sawit, yang kini sebagian juga mulai jadi kebun sawit,” sambungnya.
Babulu laut yang seksi untuk pertambakan ini, membuat banyak pengusaha melirik. Pemilik tambak, tak hanya warga Babulu Laut. Banyak juga haji-haji (pengusaha tambak, red) dari luar Babulu Laut.
Keseksian bisnis tambak Babulu Laut, disebabkan selain areal pasang surut air laut yang memang potensial untuk tambak, jalur distribusi hasil tambak juga tak susah. Menuju ke pusat Kabupaten Penajam Paser Utara di Kecamatan Penajam, hanya butuh waktu sekitar 1-2 jam. Sedangkan ke Kota Balikpapan, hanya perlu dua hingga tiga jam. Pun begitu ke Tana Grogot, Kabupaten Paser.
Pembukaan tambak ugal-ugalan pun sempat terjadi. Imbasnya ke penduduk Babulu Laut. Bahkan, dahulu di Babulu Laut tak ada Pulau Tanjung Panjang. Dahulu, Tanjung Panjang daratannya menyatu dengan wilayah Babulu Laut di pesisir. Namun pulau ini terbentuk karena tambak yang jebol dan jadi sungai. Sehingga, wilayah ini terpisah. Belum lagi tambak tidak produktif yang ditinggalkan begitu saja.
Sementara itu, pembangunan IKN yang berjarak 2,5 jam dari desa mereka, juga membuat mereka bersiap. Alih-alih membuka ruang tambak seluas-luasnya untuk produksi sebesar-besarnya, Pirman mengakui pihaknya memilih upaya hilirisasi hasil perikanan di wilayahnya. Menambah nilai jual dan menjual yang tidak begitu laku. Juga mengarahkan ke sektor wisata.
“Seperti ikan bulan-bulan atau bandeng laki. Kita jadikan amplang atau cimi-cimi (makanan ringan). Ada juga olahan lain, kita jual ke Balikpapan, Penajam, ada yang masuk ke Rest Area IKN juga,” kata dia.
Membuka tambak besar-besaran, bukan jadi pilihan utama. Maka dari itu, Pemerintah Desa Babulu Laut mengeluarkan Peraturan Desa (Perdes) Babulu Laut Nomor 02 Tahun 2023. Perdes dalam tahap sosialisasi ini, memuat soal pembentukan Kelompok Masyarakat Peduli Mangrove, juga soal sanksi dan penghargaan terkait mangrove. Dalam Pasal 19, menyebutkan pelaku pengerusakan ekosistem mangrove akan disanksi menanam dan memelihara mangrove sepuluh kali lipat dari jumlah yang dirusak.
Juga ada denda dan pembekuan persetujuan kelola lahan. Selain itu, bagi masyarakat yang melindungi dan memanfaatkan ekosistem mangrove sesuai dengan peraturan desa itu, akan mendapat kemudahan urusan administrasi di desa.
***
Mengais Rumah Tersisa untuk Bekantan
Senja datang di Babulu Laut. Warna jingga menyeruak dari balik dedaunan mangrove. Amat, mengarahkan kemudi perahu cepatnya di antara sungai-sungai. Katanya, senja adalah waktu yang pas untuk bersua si hidung panjang atau bekantan alias nasalis larvatus. Nasib kurang mujur di sore itu. Menunggu di antara gigitan nyamuk dan langit jingga mulai gelap, bekantan tak juga berjumpa. Kecewa, tapi masih menyimpan asa.
Harap kedua, masih dipanjatkan di pagi hari. Pukul 6 pagi, Amat membawa perahu cepat menuju lokasi yang berbeda. Sambil merapal harap agar bersua. Namun, hasil masih sama seperti senja sebelumnya.
Perut yang lapar, harus diisi. Perahu cepat pun kembali ke desa. Makan pagi dan mempersiapkan diri. Pukul 9 pagi, air pasang. Peruntungan dicoba lagi. Harapan masih ada. Apalagi, kali ini akan menyusuri hutan lebih dalam. Amat menambatkan perahu cepatnya di sebuah area tambak. Seekor anjing kecil menggonggong, menyambut rombongan manusia dengan rasa curiga. Tetapi, perhentian bukan di tambak dekat si anjing kecil. Rombongan harus berjalan sekitar 10 menit dengan medan jalan yang licin dan becek.
Di tepi sungai kecil berwarna tembaga gelap, rombongan berhenti. Sebuah perahu kecil ditarik Amat. Dengan perahu ini, Amat akan mengantar ke lokasi bekantan. Perahu kecil yang muat empat orang itu hanya bisa didayung. Lima menit perjalanan terasa lama. Di perjalanan, Amat menceritakan perairan yang mirip sungai kecil dahulunya adalah tambak milik pengusaha dari Balikpapan. Tetapi sudah tak produktif dan dibiarkan pemiliknya.
“Ini warnanya merah begini, tidak bisa ikan hidup. Tapi katanya mau buka dan diurus lagi,” kata dia.
Perahu pun menuju ke sebuah tepi sungai. Suara grasak-grusuk terdengar. Amat bilang itu bekantan. Tapi sayang mereka terlalu jauh. Namun ayunan lincah anak-anak bekantan, membuat rombongan yakin itu bekantan. Sesosok bekantan jantan dewasa pun muncul. Memunggungi rombongan.
Untuk bisa mengambil gambar, teriakan meniru suara bekantan dilantangkan. Tetapi mereka hanya menengok. Gawai pun tidak mampu merekam jelas. Hanya kamera professional dengan lensa jarak jauh yang berhasil merekam. Tapi perjumpaan itu sudah memuaskan. Tim kembali dengan wajah semringah.
Keberadaan bekantan ini, telah diteliti tim YPUI. Fathurohmah dari YPUI menjelaskan, pada 2024 pihaknya melakukan penelitian keragaman satwa di ekosistem mangrove di Babulu Laut. Mereka berjumpa dengan dua kelompok bekantan. Terdiri dari 15 individu dengan estimasi populasi 27 individu yang menghuni 70 ha area hutan tersisa
“Juga ada Perjumpaan langsung dengan Lutung kelabu (Trachypithecus cristatus) dan Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis),” sambungnya.
Selain itu ada 30 Jenis burung air, 3 jenis diantaranya merupakan dilindungi pemerintah Indonesia yaitu Bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), Elang laut perut putih (Icthyophaga leucogaster), Kipasan belang (Rhipidura javanica ). Juga ada burung migran yaitu Kuntul besar (Ardea alba ), Kuntul kecil (Egretta garzetta), Blekok sawah (Ardeola speciosa), Dara laut kumis (Chlidonias hybrida).
Namun, menurut Tri Atmoko peneliti bekantan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada aturan populasi umumnya. Suatu kelompok dengan populasi di atas 50, bisa menjaga keragaman jenisnya. Namun, jika kurang dari lima puluh, bisa punah. Sebab selain isu pangan, risiko inses juga terjadi dan satwa itu lebih rentan. Hal ini pernah dilakukan percobaan di satwa kecil.
Maka dari itu, jika bekantan yang ada di Babulu Laut ini terisolasi, risiko tidak bisa berjumpa bekantan lagi bisa terjadi. Sehingga, penting memastikan vegetasi lestari agar wilayah jelajah bekantan makin luas dan risiko terisolasi tak ada lagi. Dia menjelaskan, daya jelajah bekantan itu 1.100 meter dalam sehari dan mereka bisa berenang hingga 50 meter.
“Populasi kecil dan terisolasi bisa punah. Tapi, kalau populasi kecil tapi bisa terhubung, masih bisa ada pertukaran genetiknya,” jelasnya.
Tri menjelaskan, habitat bekantan selalu dekat dengan perairan seperti sungai, danau, atau laut. Sebab itu sumber pakan kesukaannya, yaitu pucuk daun. Bekantan tidak makan buah matang. Selain itu, Bekantan bisa berbagi ekosistem dengan hewan lain. Seperti monyet abu-abu, lutung, atau orangutan.
“Bekantan itu spesies payung. Jadi kalau keberadaan bekantan itu bagus, akan melindungi spesies lain,” pungkas Tri.
***
Galam dan Ulin yang Menantang Selat Makassar
Angin barat di awal Januari itu, membuat Selat Makassar teduh. Sepuluh menit dengan speedboat dari tambak terbengkalai yang jadi lokasi perjumpaan bekantan, Amat memperlambat perahu cepatnya. Dia menunjukkan laut lepas di depan. Di hadapan perahu cepat ini, ada Pulau Sulawesi yang tak terlihat mata telanjang.
Sementara di sebelah kiri, ada barisan kayu galam, lalu kayu ulin di belakangnya. Kata Amat jejeran kayu ulin itu ada di area Pulau Tanjung Tanah. Tapi perahu cepat tidak bisa mendekat, sebab akan kandas. Jufri dari Pokja Pesisir yang duduk di muka perahu cepat, langsung menjelaskan, jejeran kayu ini, melindungi rhizophora apiculata dan kelompok api-api. Ada sekitar 7-8 ribu bibit yang berhadapan langsung dengan deburan Selat Makassar. Bibit ini, harus dijaga agar bisa mengakar dan besar.
“Pagar kayu itu penting agar bibitnya bisa hidup. Sebab, abrasi di sini kuat,” kata Jufri.
Mereka melihat bagaimana proyek-proyek penanaman pohon mangrove dari berbagai lembaga di sekitar situ, tidak dapat hidup dengan baik. Ternyata, sebabnya adalah abrasi. Mereka cari cara. Syukurnya, bibit yang mereka tanam sejak Oktober-November 2024 itu, bisa hidup. Pemantauan pun terus dilakukan masyarakat. Amat, sang motoris perahu cepat ini, salah satu yang terlibat.
Fathurohmah dari YPUI sebelumnya telah memaparkan, Pulau Tanjung Tanah adalah sebagai pelindung kawasan permukiman Babulu Laut. Pulau Tanjung Tanah mengalami ancaman abrasi yang cukup serius dan juga konversi hutan mangrove – tambak. Sekitar 75 ribu pohon mangrove ditanam di pesisir Pulau Tanjung Tanah. Masyarakat melakukan pembibitan secara mandiri.
“Kegiatan rehabilitasi mangrove memberdayakan kelompok perempuan,” papar perempuan yang akrab disapa Ifat itu.
Para perempuan itu sebanyak 20 orang dalam persemaian dan 60 orang penanam, yang mendapatkan manfaat ekonomi secara langsung sebagai alternatif pendapatan sehari-hari.
Tetapi, upaya menanam tak hanya lembaga dari luar. Desa Babulu Laut juga berusaha. Memiliki hutan mangrove yang dapat menyerap karbon lebih tinggi dari hutan hujan biasa, desa ini juga mendapat dana insentif karbon dari program Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF –CF). Sebuah skema pembiayaan dari Bank Dunia dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Sekretaris Desa Babulu Laut, Pirman pun mengatakan sekitar 240 juta rupiah didapat desa dari program ini. Anggaran tersebut telah dirancang untuk digunakan penanaman 27 ribu bibit mangrove, pelatihan, dan alat untuk mendukung kegiatan penghijauan.
“Anggarannya sudah masuk. Tinggal nanti kita pergunakan sesuai dengan perencanaan,” jelasnya.
Hal ini mereka pilih, diakui bukan tanpa alasan atau agar sekadar menyerap dana karbon. Sebab, yang menghantui warga Babulu Laut adalah abrasi dan air laut yang terus naik. (*)
Liputan ini dibuat mediaetam.com dengan dukungan Yayasan Planet Urgensi Indonesia (YPUI)