Mediaetam.com, Samarinda – Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur (KMS Kaltim) menilai paradigma pembangunan di Indonesia selalu menempatkan garis-garis pengelolaan lingkungan hidup dan kekayaan alam yang adil dan lestari hanya sampai pada tataran pemuas hasrat konsumsi ekonomi kotor kapitalistik dan kepentingan ego sektoral saja.
Menurut KMS Kaltim, dalam paradigma pembangunan investasi yang kejam seperti ini, hak-hak masyarakat, aspek sosial dan keelokan atau tata cara dalam mengelola sumber daya alam akan diabaikan dan ditindas dengan cara-cara yang kasar dan keji.
Instrument hukum dan kebijakan, penggunaan kewenangan, alasan pemerataan ekonomi dan peningkatan taraf hidup, perlibatan dan persetujuan masyarakat dinilai minim oleh KMS Kaltim.
BacaJuga
Direktur ED Walhi Kaltim, Yohana Tiko menjelaskan, Kalimantan Timur adalah bumi yang sudah kotor dan penuh polutan, 73% dari total luas kawasannya telah dibebani oleh perizinan ekstraktif.
Ada 1,32 Juta Hektar luas perkebunan sawit dengan 332 Korporasi yang mencaplok wilayah ini. Kemudian ada 5,3 Juta Hektar lahan tercaplok untuk keperluan energi kotor pertambangan batubara serta sisanya yakni seluas 4,8 Juta Hektar dicaplok untuk konsesi HPH dan HTI.
Penggusuran lahan adat di Desa Long Bentuq, penggusuran lahan pertanian warga di 3 Kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, konflik lahan antara masyarakat dengan Perusahaan HTI di Desa Lebak Cilong, sengketa lahan adat Suku Dayak di Desa Jembayan dengan pertambangan batubara, serta 52 konflik tanah lainnya, dapat menjadi bukti bahwa betapa tidak beresnya kinerja Pemerintah atas tata kelola sumber daya alam di Kalimantan Timur.
“Seakan tidak puas atas gencarnya serbuan arus perampokan dengan dalih investasi dan pelum pulihnya kondisi ekologis yang ada. Pemerintah Indonesia, para bandit, kembali menghadirkan beban baru pada lingkungan hidup dan masyarakat Kalimantan Timur melalui pembangunan Ibu Kota Baru,” kata Tiko, Jumat, 22 April 2022.
Koordinator Pokja 30 Samarinda Buyung Marajo mengingatkan, bahwa penerbitan kebijakan yang tidak diawali dengan prinsip keadilan hanya akan menjadi sumber konflik.
“Sejak awal, penetapan Pemindahan Ibu Kota Baru ke Kalimantan Timur sudah mengabaikan suara dan hak masyarakat adat serta masyarakat lokal yang ada di Kalimantan Timur. Terlebih suara masyarakat asli yang nantinya wilayah mereka akan dibongkar untuk pembangunan Ibu Kota,” kata Buyung. (Sumber: KMS Kaltim)
Editor: Maulana